Apakah kau bahagia bercerita? Apa saja yang sering kamu ceritakan? Banyak sekali hal yang sanggup dijadikan materi cerita. Kamu sanggup bercerita wacana kegemaranmu, kegiatanmu sehari-hari, pengalamanmu, perasaanmu, atau seorang yang menjadi idolamu. Segala sesuatu yang kau alami atau ketahui sanggup dijadikan materi cerita.
Kepada siapa kau sering bercerita? Kepada siapa pun kau bercerita, niscaya kau ingin orang yang mendengarkan ceritamu menjadi tertarik dan memerhatikan hingga selesai. Pernahkah kau diacuhkan ketika bercerita? Bagaimana rasanya?
Kamu niscaya merasa duka dan kecewa lantaran tidak diperhatikan. Lalu bagaimana supaya ceritamu terdengar menarik dan diperhatikan oleh orang lain?
Kepada siapa kau sering bercerita? Kepada siapa pun kau bercerita, niscaya kau ingin orang yang mendengarkan ceritamu menjadi tertarik dan memerhatikan hingga selesai. Pernahkah kau diacuhkan ketika bercerita? Bagaimana rasanya?
Kamu niscaya merasa duka dan kecewa lantaran tidak diperhatikan. Lalu bagaimana supaya ceritamu terdengar menarik dan diperhatikan oleh orang lain?
(image source: ivanprakasa.com)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam memberikan dongeng yakni sebagai berikut.
a. Suara
Suara merupakan modal utama dalam bercerita. Usahakan suaramu diadaptasi dengan pendengar dan ruangan yang ada.
b. Pelafalan dan artikulasi
Pelafalan setiap kata harus sempurna dengan artikulasi yang sesuai sehingga dongeng sanggup ditangkap dengan terperinci oleh pendengar.
c. Intonasi
Gunakan intonasi yang menarik. Sesekali berikan pementingan pada katakata tertentu ketika ada pendengar yang terlihat bosan, gaduh, atau mengantuk.
d. Gerak dan mimik
Gerak dan lisan muka yang sesuai dengan apa yang diceritakan, menciptakan dongeng terasa lebih menarik dan sanggup mendukung penyampaian cerita.
a. Suara
Suara merupakan modal utama dalam bercerita. Usahakan suaramu diadaptasi dengan pendengar dan ruangan yang ada.
b. Pelafalan dan artikulasi
Pelafalan setiap kata harus sempurna dengan artikulasi yang sesuai sehingga dongeng sanggup ditangkap dengan terperinci oleh pendengar.
c. Intonasi
Gunakan intonasi yang menarik. Sesekali berikan pementingan pada katakata tertentu ketika ada pendengar yang terlihat bosan, gaduh, atau mengantuk.
d. Gerak dan mimik
Gerak dan lisan muka yang sesuai dengan apa yang diceritakan, menciptakan dongeng terasa lebih menarik dan sanggup mendukung penyampaian cerita.
Apabila kau ingin berhasil dalam bercerita, maka lakukan hal-hal berikut.
a. Baca dan kuasai naskah orisinil dongeng yang akan kau ceritakan.
b. Berlatihlah menceritakan kembali dongeng yang kau baca.
c. Bersikaplah masuk akal dan tidak terlihat gugup ketika bercerita.
d. Sikap yang damai sanggup mendukung kelancaran bercerita.
e. Gunakan pelafalan yang jelas.
f. Jangan tergesa-gesa.
a. Baca dan kuasai naskah orisinil dongeng yang akan kau ceritakan.
b. Berlatihlah menceritakan kembali dongeng yang kau baca.
c. Bersikaplah masuk akal dan tidak terlihat gugup ketika bercerita.
d. Sikap yang damai sanggup mendukung kelancaran bercerita.
e. Gunakan pelafalan yang jelas.
f. Jangan tergesa-gesa.
Contoh Cerita:
Botak
Oleh Aning Panca A
Hari ini vila megah itu dibersihkan. Sudah lama tidak ada penghuninya.
Ayahku bertugas mengurusi vila itu. Kata Ayah, villa itu milik seorang pengusaha kaya di Jakarta. Minggu depan anak bungsu pemilik vila itu akan tinggal di sana untuk beberapa saat. Itu sebabnya vila itu harus dibersihkan.
Sore ini ibu memintaku untuk membantu membawa barang-barang dari warung. Setelah hingga rumah, kuletakkan barang bawaan ibu di dapur. Aku pun segera mandi alasannya yakni saya ingin ikut ayah pergi ke kota. Ada beberapa barang yang harus dibeli.
"Ayah, siapa nama anak pemilik vila itu?" tanyaku sepulang dari kota.
"Namanya Non Bunga. Dia nanti ditemani kakeknya," terperinci Ayah. "Kalau tidak salah, Non Bunga itu sebaya kamu," kata Ayah lagi.
"Jadi, kini ia kelas VII Sekolah Menengah Pertama juga?" tanyaku lagi. Ayah mengangguk.
Sabtu siang. Penghuni gres vila itu telah datang. Suasana di vila yang sunyi itu tiba-tiba menjadi agak ramai. Namun, saya belum melihat anak wanita yang berjulukan Bunga.
"Wah, kendaraan beroda empat itu glamor sekali," kataku sambil melihat-lihat ke dalam mobil.
"Kapan ya sanggup naik kendaraan beroda empat ibarat ini?" seruku.
Karena terlalu asyik mengamati kendaraan beroda empat itu, saya tidak tahu kalau ada mata yang melihat saya dari tadi. Seorang kakek bermata ramah.
"Sekarang juga bisa. Kakek sanggup mengantarmu jalan-jalan nanti sore. Kamu Budi, kan?" tanya Kakek itu. Senyumnya ramah juga.
"Dari mana Kakek tahu?"
"Kakek kenal bapakmu semenjak hari pertama ia bekerja di vila ini. Waktu itu kau masih kecil, lincah sekali. Kakek hingga kewalahan menggendongmu."
"Wah, berarti…berarti Kakek ini kakeknya Bunga ya?" tanyaku gembira.
"Benar. Kakek akan tinggal di sini menemani Bunga. Ayah Bunga sibuk dengan urusan kantornya, jadi tidak sanggup menemani Bunga di sini," jelasnya.
"Katanya Bunga sakit ya, Kek?" tanyaku penasaran.
"Iya. Sejak kecil Bunga memang sering jatuh sakit. Ia jarang bertemu orang.
Akibatnya, Bunga tidak punya banyak teman."
"Saya mau jadi temannya."
"Ayo, kenalan dengan Bunga sekarang," ajak Kakek bersemangat.
Oleh Aning Panca A
Hari ini vila megah itu dibersihkan. Sudah lama tidak ada penghuninya.
Ayahku bertugas mengurusi vila itu. Kata Ayah, villa itu milik seorang pengusaha kaya di Jakarta. Minggu depan anak bungsu pemilik vila itu akan tinggal di sana untuk beberapa saat. Itu sebabnya vila itu harus dibersihkan.
Sore ini ibu memintaku untuk membantu membawa barang-barang dari warung. Setelah hingga rumah, kuletakkan barang bawaan ibu di dapur. Aku pun segera mandi alasannya yakni saya ingin ikut ayah pergi ke kota. Ada beberapa barang yang harus dibeli.
"Ayah, siapa nama anak pemilik vila itu?" tanyaku sepulang dari kota.
"Namanya Non Bunga. Dia nanti ditemani kakeknya," terperinci Ayah. "Kalau tidak salah, Non Bunga itu sebaya kamu," kata Ayah lagi.
"Jadi, kini ia kelas VII Sekolah Menengah Pertama juga?" tanyaku lagi. Ayah mengangguk.
Sabtu siang. Penghuni gres vila itu telah datang. Suasana di vila yang sunyi itu tiba-tiba menjadi agak ramai. Namun, saya belum melihat anak wanita yang berjulukan Bunga.
"Wah, kendaraan beroda empat itu glamor sekali," kataku sambil melihat-lihat ke dalam mobil.
"Kapan ya sanggup naik kendaraan beroda empat ibarat ini?" seruku.
Karena terlalu asyik mengamati kendaraan beroda empat itu, saya tidak tahu kalau ada mata yang melihat saya dari tadi. Seorang kakek bermata ramah.
"Sekarang juga bisa. Kakek sanggup mengantarmu jalan-jalan nanti sore. Kamu Budi, kan?" tanya Kakek itu. Senyumnya ramah juga.
"Dari mana Kakek tahu?"
"Kakek kenal bapakmu semenjak hari pertama ia bekerja di vila ini. Waktu itu kau masih kecil, lincah sekali. Kakek hingga kewalahan menggendongmu."
"Wah, berarti…berarti Kakek ini kakeknya Bunga ya?" tanyaku gembira.
"Benar. Kakek akan tinggal di sini menemani Bunga. Ayah Bunga sibuk dengan urusan kantornya, jadi tidak sanggup menemani Bunga di sini," jelasnya.
"Katanya Bunga sakit ya, Kek?" tanyaku penasaran.
"Iya. Sejak kecil Bunga memang sering jatuh sakit. Ia jarang bertemu orang.
Akibatnya, Bunga tidak punya banyak teman."
"Saya mau jadi temannya."
"Ayo, kenalan dengan Bunga sekarang," ajak Kakek bersemangat.
Aku dan Kakek kemudian masuk ke ruangan tengah vila. Di situ tampak seorang anak dengan kepala plontos. Ia duduk di atas koper memunggungi kami. Tak mungkin itu Bunga, pikirku, alasannya yakni Bunga anak perempuan, bukan laki-laki. Tidak mungkin anak botak itu Bunga!
"Bunga….ada sobat yang mau kenalan denganmu sayang," Kakek memegang pundak anak botak itu. Astaga, ternyata ia memang Bunga!
"Waaah… botak!" celetukku tiba-tiba. Aku sendiri kaget dengan katakataku.
Seketika itu muka Bunga merah padam. Kakek juga kaget. Mata Bunga berkaca-kaca. Boneka yang didekapnya dilempar ke arahku. Kena ke mukaku.
Aku hanya sanggup berlari keluar ruangan. Malu sekali rasanya. Tak kusangka saya telah berbuat yang tidak sopan. Bagaimana kalau kakek Bunga murka padaku? Kalau Ayah dipecat gara-gara aku? Aku terus berlari.
Lalu sebuah tangan memegang bahuku dari belakang. Ternyata kakek Bunga. Aku tidak mau dianggap anak yang tidak sopan. Aku segera minta maaf.
"Maafkan Budi, Kek! Budi tidak bermaksud untuk tidak sopan. Tadi betulbetul tidak sengaja."
"Tenang saja…" kata Kakek. "Kakek tahu kau tidak punya niat ibarat itu. Tapi bagaimanapun kau harus minta maaf pada Bunga. Kamu sudah menyinggung perasaannya."
"Saya akan minta maaf, Kek" kataku "Tapi, apa Bunga akan memaafkan saya?
Saya khawatir ia tidak akan memaafkan saya,Kek."
"Kalau belum dicoba, kau tidak sanggup bilang ibarat itu."
Tiba-tiba saya menerima ide. Menurutku, Bunga akan memaafkan saya jikalau saya melaksanakan suatu hal. Menurut Kakek, ideku itu bagus. Jadi, saya harus minta izin orang tua.
Aku pun bergegas lari pulang. Kuceritakan ideku pada ibu. Menurut ibu saya harus bertanggung jawab atas semua perbuatanku. Ibu mengizinkan saya melaksanakan ideku.
Kakek kemudian mengantarku ke kota. Aku dan Kakek gres tiba di vila pada sore hari. Aku segera menemui Bunga.
"Bunga… saya mau minta maaf atas kejadian tadi siang, " kataku sambil tertunduk. Aku sanggup mencicipi Bunga menatapku tajam. "Karena itu…
sebagai tanda seruan maafku yang tulus… saya membotaki kepalaku…" kataku sambil melepas topi. "Maafkan saya yaaa…" kataku memelas.
Tiba-tiba Bunga tertawa lepas sambil berkata, "Hahaha… lucu, kau lucu sekali…"
Aku lega. Ternyata Bunga memaafkan aku.
"Bunga….ada sobat yang mau kenalan denganmu sayang," Kakek memegang pundak anak botak itu. Astaga, ternyata ia memang Bunga!
"Waaah… botak!" celetukku tiba-tiba. Aku sendiri kaget dengan katakataku.
Seketika itu muka Bunga merah padam. Kakek juga kaget. Mata Bunga berkaca-kaca. Boneka yang didekapnya dilempar ke arahku. Kena ke mukaku.
Aku hanya sanggup berlari keluar ruangan. Malu sekali rasanya. Tak kusangka saya telah berbuat yang tidak sopan. Bagaimana kalau kakek Bunga murka padaku? Kalau Ayah dipecat gara-gara aku? Aku terus berlari.
Lalu sebuah tangan memegang bahuku dari belakang. Ternyata kakek Bunga. Aku tidak mau dianggap anak yang tidak sopan. Aku segera minta maaf.
"Maafkan Budi, Kek! Budi tidak bermaksud untuk tidak sopan. Tadi betulbetul tidak sengaja."
"Tenang saja…" kata Kakek. "Kakek tahu kau tidak punya niat ibarat itu. Tapi bagaimanapun kau harus minta maaf pada Bunga. Kamu sudah menyinggung perasaannya."
"Saya akan minta maaf, Kek" kataku "Tapi, apa Bunga akan memaafkan saya?
Saya khawatir ia tidak akan memaafkan saya,Kek."
"Kalau belum dicoba, kau tidak sanggup bilang ibarat itu."
Tiba-tiba saya menerima ide. Menurutku, Bunga akan memaafkan saya jikalau saya melaksanakan suatu hal. Menurut Kakek, ideku itu bagus. Jadi, saya harus minta izin orang tua.
Aku pun bergegas lari pulang. Kuceritakan ideku pada ibu. Menurut ibu saya harus bertanggung jawab atas semua perbuatanku. Ibu mengizinkan saya melaksanakan ideku.
Kakek kemudian mengantarku ke kota. Aku dan Kakek gres tiba di vila pada sore hari. Aku segera menemui Bunga.
"Bunga… saya mau minta maaf atas kejadian tadi siang, " kataku sambil tertunduk. Aku sanggup mencicipi Bunga menatapku tajam. "Karena itu…
sebagai tanda seruan maafku yang tulus… saya membotaki kepalaku…" kataku sambil melepas topi. "Maafkan saya yaaa…" kataku memelas.
Tiba-tiba Bunga tertawa lepas sambil berkata, "Hahaha… lucu, kau lucu sekali…"
Aku lega. Ternyata Bunga memaafkan aku.
"Aku minta maaf ya, tadi melempar kau dengan boneka," katanya sambil mengulurkan tangan.
Sejak ketika itu, kami bersahabat. Teman-teman sekelas sering bermain bersama kami di vila Bunga. Kami pun membentuk kelompok yang disebut "B" yang berarti Botak. Walaupun yang botak hanya saya dan Bunga.
Sumber: Bobo No. 46/XXXIV, 22 Februari 2007
Sejak ketika itu, kami bersahabat. Teman-teman sekelas sering bermain bersama kami di vila Bunga. Kami pun membentuk kelompok yang disebut "B" yang berarti Botak. Walaupun yang botak hanya saya dan Bunga.
Sumber: Bobo No. 46/XXXIV, 22 Februari 2007
Advertisement
Baca juga:
Advertisement
EmoticonEmoticon