Teater Nusantara meliputi seni pertunjukan teater tradisional dan teater modern di wilayah Nusantara dan mempunyai jenis yang bergam. Jenis teater Nusantara sangat bervariasi. Hal ini disebabkan unsur-unsur pembentuk teater berbeda-beda tergantung dari kondisi dan perilaku budaya masyarakat, tata cara dan adat, sumber teater, struktur geografis, orientasi kelompok teater, dan sebagainya. Keberanekaragaman jenis karya seni teater Nusantara merupakan kekayaan teater Indonesia yang sangat layak kita lestarikan.
Berikut ini beberapa jenis teater Nusantara yang ada di bumi Indonesia.
1. Teater Tradisional
Jenis teater nusantara yang pertama yaitu teater tradisional yang merupakan teater yang berkembang di kalangan budaya etnik (suku bangsa) Indonesia. Teater tradisional dimulai sejak sebelum zaman Hindu. Pada dikala itu terdapat gejala unsur-unsur teater tradisional banyak dipakai untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan kepingan dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Jenis teater tradisional biasanya dipertunjukkan secara improvisasi (tanpa naskah) dan sanggup dipentaskan di sembarang tempat. Proses munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Hal ini disebabkan lantaran unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan perilaku budaya masyarakat, sumber, dan tata-cara tempat teater tradisional tersebut lahir. Berbagai jenis teater tradisional Indonesia antara lain: Makyong, Randai, Mamanda, Arja, Cepung, Wayang, Lenong, Drama Raja Longser, Tarling, Ketoprak, Srandul, Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Dulmuluk, dan sebagainy
2. Teater Klasik
Teater klasik merupakan jenis teater yang sifatnya sudah mapan. Segala sesuatunya sudah teratur; dengan dongeng dan pelaku yang terlatih, dipertunjukkan di gedung-gedung pertunjukan yang memadai, dan cenderung tidak menyatu lagi dari kehidupan rakyatnya. Ceritanya statis namun mempunyai daya tarik lantaran kepiawaian dalang atau pelaku teater dalam membawakan cerita. Teater klasik lahir dari sentra kerajaan sehingga bersifat feodalistik. Contoh jenis teater klasik yaitu wayang orang, wayang kulit, dan wayang golek.
1. Teater Tradisional
Jenis teater nusantara yang pertama yaitu teater tradisional yang merupakan teater yang berkembang di kalangan budaya etnik (suku bangsa) Indonesia. Teater tradisional dimulai sejak sebelum zaman Hindu. Pada dikala itu terdapat gejala unsur-unsur teater tradisional banyak dipakai untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan kepingan dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Jenis teater tradisional biasanya dipertunjukkan secara improvisasi (tanpa naskah) dan sanggup dipentaskan di sembarang tempat. Proses munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Hal ini disebabkan lantaran unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan perilaku budaya masyarakat, sumber, dan tata-cara tempat teater tradisional tersebut lahir. Berbagai jenis teater tradisional Indonesia antara lain: Makyong, Randai, Mamanda, Arja, Cepung, Wayang, Lenong, Drama Raja Longser, Tarling, Ketoprak, Srandul, Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Dulmuluk, dan sebagainy
2. Teater Klasik
Teater klasik merupakan jenis teater yang sifatnya sudah mapan. Segala sesuatunya sudah teratur; dengan dongeng dan pelaku yang terlatih, dipertunjukkan di gedung-gedung pertunjukan yang memadai, dan cenderung tidak menyatu lagi dari kehidupan rakyatnya. Ceritanya statis namun mempunyai daya tarik lantaran kepiawaian dalang atau pelaku teater dalam membawakan cerita. Teater klasik lahir dari sentra kerajaan sehingga bersifat feodalistik. Contoh jenis teater klasik yaitu wayang orang, wayang kulit, dan wayang golek.
3. Teater Transisi
Teater transisi merupakan jenis teater peralihan dari bentuk tradisional ke bentuk modern. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional mulai memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat ke dalam pertunjukannya, dinamakan teater bangsawan. Teater transisi ditandai dengan adanya dongeng yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud dongeng ringkas. Penyajian dongeng memakai panggung dan dekorasi yang telah diatur, serta mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Selain imbas dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805.
Rombongan pertama teater transisi contohnya Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa) dengan mempertunjukkan naskah. Pendiri kelompok ini yaitu August Mahieu, seorang Indo-Perancis kelahiran Surabaya (1860-1906). Sedang penyedia modal untuk Komedi Stamboel ialah seorang Cina-peranakan berjulukan Yap Goan Tay dan Cassim, pembantunya. Setelah Komedie Stamboel muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, ibarat Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan sebagainya.
Pada masa teater transisi belum muncul istilah "teater" namun dikenal istilah "sandiwara". Karenanya rombongan teater pada masa itu memakai nama sandiwara, sedangkan dongeng yang disajikan
dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia gres dikenal sehabis Zaman Kemerdekaan. Setelah kemunculan teater transisi, banyak pengetahuan untuk mengadopsi seni teater Barat dan memadukannya dengan teater tradisional. Seiring dengan perkembangan teater, pada tahun 1930-an sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual di masa itu karena penindasan pemerintahan Belanda, muncul sastra drama yang pertama kali memakai bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog berbentuk sajak yakni Bebasari (artinya kebebasan yang bahu-membahu atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Naskah Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi penggerak semangat kebangsaan dikala itu. Menjelang tamat pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail dan D. Djajakusuma dengan santunan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah beranggota cendekiawan muda, nasionalis, dan para profesional. Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme, dan agama. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta yang kelak mencetak tokohtokoh terkemuka teater Indonesia.
Teater transisi merupakan jenis teater peralihan dari bentuk tradisional ke bentuk modern. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional mulai memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat ke dalam pertunjukannya, dinamakan teater bangsawan. Teater transisi ditandai dengan adanya dongeng yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud dongeng ringkas. Penyajian dongeng memakai panggung dan dekorasi yang telah diatur, serta mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Selain imbas dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805.
Rombongan pertama teater transisi contohnya Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa) dengan mempertunjukkan naskah. Pendiri kelompok ini yaitu August Mahieu, seorang Indo-Perancis kelahiran Surabaya (1860-1906). Sedang penyedia modal untuk Komedi Stamboel ialah seorang Cina-peranakan berjulukan Yap Goan Tay dan Cassim, pembantunya. Setelah Komedie Stamboel muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, ibarat Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan sebagainya.
Pada masa teater transisi belum muncul istilah "teater" namun dikenal istilah "sandiwara". Karenanya rombongan teater pada masa itu memakai nama sandiwara, sedangkan dongeng yang disajikan
dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia gres dikenal sehabis Zaman Kemerdekaan. Setelah kemunculan teater transisi, banyak pengetahuan untuk mengadopsi seni teater Barat dan memadukannya dengan teater tradisional. Seiring dengan perkembangan teater, pada tahun 1930-an sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual di masa itu karena penindasan pemerintahan Belanda, muncul sastra drama yang pertama kali memakai bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog berbentuk sajak yakni Bebasari (artinya kebebasan yang bahu-membahu atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Naskah Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi penggerak semangat kebangsaan dikala itu. Menjelang tamat pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail dan D. Djajakusuma dengan santunan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah beranggota cendekiawan muda, nasionalis, dan para profesional. Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme, dan agama. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta yang kelak mencetak tokohtokoh terkemuka teater Indonesia.
Advertisement
Baca juga:
Advertisement
EmoticonEmoticon