Upacara Etika Yogyakarta Lengkap Penjelasannya - Seni Budayaku

Share:
Konten [Tampil]
Provinsi Daerah spesial Yogyakarta selaku kota pendidikan sekaligus dipahami selaku kota budaya memiliki beraneka ragam kebudayaan tradisional salah satunya merupakan upacara sopan santun yang hingga di sekarang ini masih sering ditemui di beberapa tempat di Yogyakarta. Beberapa jenis upacara sopan santun yang terdapat di Provinsi Daerah spesial Yogyakarta , antara lain selaku berikut.

Upacara Adat Sekaten

Setelah Raden Patah dilantlik menjadi sultan pertama Kerajaan Demak , atas anjuran Wali Sanga didirikanlah Masjid Besar Demak yang selesai dibangun pada tahun 1408. Saat itu , penyebaran agama Islam tidak banyak mengalami kemajuan. Kemudian timbul ide dari Sunan Kalijaga untuk mengadakan hiruk pikuk menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Pada bulan Rabiulawal dibunyikanlah gamelan di halaman masjid mudah-mudahan rakyat mau masuk ke kompleks Masjid Besar. Sejak sepekan sebelum perayaan Maulid , diselenggarakan keramaian. Secara terus-menerus gamelan ditabuh dibarengi dengan dakwah agama. Beberapa lagu gamelan digubah oleh Sunan Giri dan Sunan Kalijaga.

Mendengar suara gamelan yang merdu , rakyat berbondong-bondong melihat dari dekat. kemudian menuju pelataran masjid. Para wali mempergunakan hiruk pikuk tersebut selaku ajang berdakwah wacana keluhuran agama Islam. Banyak yang kesengsem dan kemudian masuk Islam. Mereka yang masuk Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat , perumpamaan Arabnya merupakan syahadatain. Lidah orang Jawa mengucapkannya selaku sekaten. Orang yang sudah mengucapkan syahadat memiliki arti sudah resmi masuk Islam dan untuk menyempurnakan keislamannya kemudian disunat.

Pada malan 12 Rabiulawal , Sultan keluar dari keraton menuju Masjid untuk menyimak riwayat hidup Nabi. Pada tengah malam , Sultan kembali ke keraton beserta gamelan sekaten menunjukan berakhirnya perayaan sekaten.

tradisi rebutan gunungan sekaten yogyakarta

Pada pemerintahan Sultan Agung , tradisi garebeg mulud dibarengi pisowanan garebeg di Sitihinggil. Acara tersebut diakhiri dengan wilujengan nagari berupa sesajian gunungan untuk kenduri di Masjid Agung. Sedekah dari raja untuk rakyat berupa gunungan inilah yang kemudian menjadi rebutan penduduk alasannya merupakan diandalkan sanggup dipakai selaku tolak bala mudah-mudahan hasil pertanian tidak diserang hama penyakit. Selain garebeg mulud diadakan pula garebeg syawal untuk merayakan Idul Fitri dan garebeg besar untuk merayakan Idul Adha.

Tradisi perayaan sekaten ini ditetapkan menjadi tradisi resmi sejak kerajaan pindah dari Demak ke Pajang , dari Pajang pindah ke Mataram , kemudian ke Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I , ditabuhlah dua gamelan sekaten , yakni Kyai Gunturmadu (yang bermakna anugerah yang turun) diposisikan di bangsal Pagongan Selatan dan Kyai Nogowilogo (yang bermakna lestari dan menang perang) diposisikan di bangsal Pagongan Utara.

Upacara Adat Labuhan

Dalam keyakinan Jawa , setiap tempat memiliki penguasa mistik berupa makhluk halus penunggu. Gunung Merapi yang terletak di utara Kota Yogyakarta diyakini dinantikan oleh makluk halus berjulukan Eyang Sapujagad. Samudra Indonesia yang lazim disebut Laut Selatan terletak di selatan Kota Yogyakarta dinantikan oleh perempuan anggun jelita berjulukan Kanjeng Ratu Kidul.

Panembahan Senopati selaku raja Mataram berusaha mempertahankan keselarasan , keselarasan , dan keseimbangan dalam masyarakat. Oleh alasannya merupakan itu , ia menjalin komunikasi dengan kedua makhluk halus tersebut. Salah satu bentuk komunikasinya merupakan dengan bersemadi di tempat-tempat tersebut. Ketika Panembahan Senopati merasa sudah saatnya menggantikan kekuasaan Kerajaan Pajang , ia bertapa di Laut Selatan. Sementara itu , pamannya , yakni Ki Juru Mertani , bertapa di Gunung Merapi.

Untuk menghormati ikatan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram penerus Panembahan Senopati , maka setiap tahun diadakan labuhan di Pantai Parangtritis. Jika keharusan itu diabaikan , terdapat keyakinan bahwa Kanjeng Ratu Kidul akan marah dengan mengirim serdadu jin untuk meningkatkan penyakit dan aneka macam petaka yang mau memunculkan malapetaka bagi rakyat dan kerajaan. Namun , bila labuhan tetap dilaksanakan , maka Kanjeng Ratu Kidul akan menampilkan proteksi dan sumbangan ke Mataram.

tradisi upacara labuhan di parangkusumo

Labuhan ini sudah menjadi upacara sopan santun Keraton Mataram sejak periode ke XVII. SeteIah Perjanjian Gianti tahun I755 yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan , yakni Kasunanan Surakarta dan KesuItanan Yogyakarta , maka tradisi labuhan dijalankan oleh dua kerajaan Jawa tersebut.

Labuhan pertama kali di Kesultanan Yogyakarta diadakan sehari sesudah penobatan Pangeran Mangkubumi selaku Sultan Hamengkubuwono I tahun I755. Tradisi ini berjalan hingga Sultan Hamengkubuwono ke VIII.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono ke IX , labuhan diadakan sesudah ulang tahun Sultan. Kini , di masa Sultan Hamengkubuwono ke X , labuhan dilaksanakan mirip dahulu lagi , yakni sehari sehabis penobatannya menjadi raja. Labuhan diadakan setiap tahun pada tanggal 30 bulan Rejeb alasannya merupakan Sultan Hamengkubuwono X dinobatkan pada hari Selasa Wage tanggal 29 Rejeb tahun Wawu 1921 atau 7 Maret 1989.

Berikut ini prosesi labuhan Sultan Hamengkubuwono X.
Setibanya barang-barang labuhan atau sesaji di Parangkusumo , rombongan abdi dalem memasuki kompleks berpagar yang di dalamnya terletak Sela Gilang. Di atas kerikil inilah dahulu Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul mengadakan pertemuan. Tempat itu diyakini selaku pintu gerbang menuju kerajaan Kanjeng Ratu Kidul. Juru kunci yang memimpin pelaksanaan upacara memperabukan kemenyan , kemudian menanam kuku , rambut , dan busana bekas Sultan Hamengkubuwono X di pojok kompleks.

Juru kunci memperabukan kemenyan lagi dan mengasapi ketiga ancak yang berisi barang labuhan kemudian berangkat ke pantai untuk melabuhnya. Sekitar 10 langkah dari garis pantai , juru kunci duduk bersila menghadap ke maritim melakukan sembah ke Kanjeng Ratu kidul sambil mengucapkan doa tuntutan , ”Hamba mohon permisi , Gusti Kanjeng Ratu Kidul. Hamba menampilkan labuhan cucu Paduka lngkang Sinuwun Kanjeng Sultan yang ke X di Ngayogyakarta Hadiningrat. Cucu paduka mohon pangestu , mohon keamanan , mohon panjang usia , kemuliaan kerajaan , keamanan negara di Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ketiga ancak secepatnya dibawa ke tengah maritim untuk dilabuh. Ancak paling depan untuk dipersembahkan terhadap Kanjeng Ratu Kidul , raja dari semua makhluk halus di Laut Selatan. Ancak kedua dipersembahkan terhadap Nyai Roro Kidul yang menjabat selaku patih Kanjeng Ratu Kidul , dan ancak ketiga dipersembahkan terhadap mBok Roro Kidul , pembantu kedua.

Masyarakat yang menghadiri program labuhan lazimnya beramai-ramai memperebutkan sebagian dari benda labuhan yang dihanyutkan ombak ke pantai. Menurut keyakinan , barang-barang yang masih gres akan hanyut ke dalam maritim alasannya merupakan dipakai oleh Kanjeng Ratu Kidul , sedangkan barang-barang bekas mirip baju bekas Sultan dan bunga bekas sesaji akan kembali ke pantai.

Menurut keyakinan , barang-barang yang kembali terdampar di pantai tersebut memiliki kekuatan mistik alasannya merupakan dikirim kembali oleh Kanjeng Ratu Kidul untuk menangani segala gangguan dan penyakit. Beberapa orang membuatnya selaku jimat. Jimat merupakan sebuah benda yang difungsikan selaku pusaka dan diandalkan memiliki kekuatan magis untuk menolong pemiliknya mencegah gangguan alam. Yang mendapat benda-benda labuhan berharap akan beroleh kemakmuran dan keberuntungan hidup.

Upacara Adat Bekakak

Bekakak disebut juga saparan bekakak. Bekakak memiliki arti korban penyembelihan insan atau hewan. Hanya saja , bekakak yang disembelih dalam upacara ini cuma tepung ketan yang dibikin mirip pengantin pria dan perempuan sedang duduk.

Sebelum diarak untuk disembelih , pada malam sebelumnya diadakan upacara midodareni layaknya pengantin sejati. Menurut keyakinan penduduk , pada malam menjelang perkawinan , para bidadari turun ke bumi untuk memberi restu. Orang-orang begadang semalam suntuk demi menyambut kedatangan para bidadari tersebut.

upacara sopan santun bekakak di yogyakarta

Pada siang hari , "pengantin" diarak dari Balai Desa Ambarketawang , Sleman , Yogyakarta ke Gunung Gamping. Ini merupakan tempat Kyai Wirasuta , abdi dalem Sri Sultan HB I muksa , hilang tanpa bekas.

Kyai Wirasuta merupakan abdi dalem penongsong , abdi dalem pembawa payung di saat Sri Sultan HB I bepergian. Ketika Sultan pindah dari Ambarketawang ke keraton yang gres , abdi dalem ini tidak ikut pindah dan tetap tinggal di Gamping. Ia menjadi cikal-bakal penduduk di sana. Ia tinggal di dalam gua di bawah Gunung Gamping tersebut.

Suatu hari , Jumat Kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan Sapar , menjelang purnama terjadi petaka yang menimpa Kyai Wirasuta sekeluarga. Gunung Gamping yang didiami runtuh. Kyai Wirasuta sekeluarga beserta binatang kesayangannya berupa landak , gemak , dan merpati terkubur di reruntuhan.

Sri Sultan HB I secepatnya mewakilkan untuk mencari mayat mereka , tetapi tidak ditemukan. Maka Sultan mewakilkan para abdi dalem keraton supaya setahun sekali setiap bulan Sapar antara tanggal 10-20 untuk bikin syukuran dan ziarah ke Gunung Gamping dengan tujuan untuk mengenang jasa dan kesetiaan Ki Wirasuta selaku abdi dalem yang loyal hingga simpulan hayat.

Penyembelihan bekakak dimaksudkan selaku bentuk pengorbanan untuk para arwah atau danyang penunggu Gunung Gamping.Tujuannya merupakan mudah-mudahan mereka tidak mengambil korban insan , sekaligus berkenan menampilkan keamanan terhadap penduduk yang menambang kerikil gambing di sana.

Upacara Adat Rebo Wekasan

Rebo wekasan merupakan sebuah upacara tradisional yang terdapat di Desa Wonokromo , Pleret , Bantul. Letaknya sekitar 10 km dari Kota Yogyakarta. Rebo wekasan berasal dari kata rebo dan wekasan yang memiliki arti hari Rabu terakhir bulan Sapar.

Pada tahun 1600 , Keraton Mataram yang berkedudukan di Pleret sedang dilanda penyakit atau pageblug. Sultan Agung selaku raja Mataram sungguh prihatin. Ia pergi bersemadi di Masjid Soko Tunggal di Desa Kerton. Dalam semadinya ia mendapat isyarat dari Tuhan untuk bikin penolak bala guna menghalau wabah tersebut.

Dipanggillah Kyai Sidik dari Wonokromo untuk bikin penolak bala. Jimat merupakan penolak bala itu. Jimat tersebut berupa huruf Arab bertuliskan Bismillahir Rahmanir Rahim sebanyak 124 baris dan dikemas dengan kain mori putih. Oleh Sultan Agung , jimat tersebut direndam dalam bokor kencana dan diminumkan terhadap orang yang sakit. Ternyata mereka sembuh.

upacara sopan santun rebo wekasan yogyakarta

Semakin banyaklah orang yang tiba meminta air tersebut. Lantaran tidak memadai untuk siapa saja , maka Sultan Agung memerintah Kyai Sidik untuk mencampakkan jimat tersebut ditempuran Sungai Opak dan Sungai Gajahwong. Berduyun-duyunlah orang berkunjung ke tempuran tersebut untuk membasuh wajah , mandi , dan berendam mudah-mudahan mendapat keberuntungan.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I , Kyai Muhammad Fakih dititahkan untuk bikin masjid pathok negoro di Desa Wonokromo dengan nama Masjid at-Taqwa. Awalnya masjid tersebut yang dibikin dari anyaman bambu dengan atap dari anyaman daun alang-alang yang disebut welit. Karena keahliannya bikin welit maka penduduk sekitar memanggilnya Kyai Welit. Dia juga meneruskan tradisi rebo wekasan pada Rabu terakhir bulan Sapar tahun 1754 atau 1837 M. Dia bikin camilan manis lemper yang dibagikan ke penduduk di sekitarnya.

Menurutnya , camilan manis lemper mengandung nilai filosofis. Kulit lemper dari daun pisang mengibaratkan segala hal yang sanggup mengotori keyakinan , sehingga mesti dibuang. Ketan mirip kenikmatan duniawi. Isi lemper yang berupa daging cincangan mirip kenikmatan akhirat. Kaprikornus makan lemper bermakna bahwa orang yang ingin mendapat kebahagiaan dunia dan alam abadi mesti sanggup menetralisir kotoran jiwa sehingga jadi higienis mirip lemper yang sudah dikupas.

Peristiwa tersebut dianggap selaku hari bersejarah bagi penduduk Wonokromo sehingga diperingati setiap tahun. Upacara rebo wekasan dianggap selaku pengingat bahwa sudah terjadi petaka yang menelan banyak korban jiwa. Tradisi mengarak lemper diteruskan hingga kini dalam bentuk lemper raksasa sepanjang dua setengah meter dengan diameter setengah meter.

Upacara Adat Siraman Kanjeng Kyai Jimat

Upacara ini dimaksudkan selaku bentuk pemuliaan terhadap benda-benda pusaka kerajaan yang mengandung nilai sejarah atau memiliki nilai spiritual alasannya merupakan bertuah dan dikeramatkan.Dengan menyuguhkan persembahan makanan (caos dahar) berupa sesajen buat kereta pusaka Kanjeng Kyai Jimat diperlukan roh penunggu kereta menampilkan keamanan bagi keluarga keraton dan para kawula kerajaan.

Acara ini diselenggarakan di museum kereta Pagedongan Rotowijayan , Keraton Yogyakarta. Biasanya , program digelar pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon bulan Sura. Setelah diberi sesaji , kain epilog kereta dibuka untuk didorong dari tempatnya ke luar depan pintu Pagedogan. Bagian pertama yang dibersihkan merupakan pecahan depan kereta berupa patung putri duyung. Dilanjutkan pecahan atap , terus ke belakang. Terakhir merupakan pecahan roda kereta. Asap dupa terus mengepul tiada henti bikin situasi magis.

upacara siraman kanjeng kyai jimat keraton yogyakarta

Seusai siraman , kereta Pusaka dikeringkan dengan kain lap. Perasan kain lap ditampung di dalam ember. Saat itulah , air perasan tadi menjadi rebutan penduduk alasannya merupakan diandalkan mengandung kekuatan mistik untuk menyembuhkan segala jenis penyakit.

Upacara Adat Nguras Enceh

Enceh atau kong merupakan gentong wadah air yang yang dibikin dari tanah liat. Ada empat buah enceh di halaman Supit Urang Istana Saptarengga , makam Sultan Agung. Dua buah enceh yang ada di sebelah timur menjadi wewenang Kasunanan Surakarta dan dua buah yang ada di sebelah barat menjadi wewenang Kesultanan Yogyakarta.

Nama-nama enceh mulai dari timur ke barat merupakan Nyai Siyem berasal dari negeri Siam atau Muangthai , Kyai Mendung berasal dari negeri Ngerum , Kyai Danumaya berasai dari Palembang , dan Nyai Danumurti berasal dari Aceh. Menurut abdi dalem Puralaya yang mempertahankan makam , enceh ini dipakai selaku tempat wudu Sultan Agung di saat hendak menunaikan salat.

upacara nguras enceh yogyakarta

Pada bulan Sura , hari Jumat Kliwon , banyak penduduk yang mengikuti upacara pencucian enceh. Mereka berebut mendapat air bekas cucian enceh. Ada juga yang caos dhahar dengan menenteng kembang setaman dan memperabukan kemenyan. Mereka minta mudah-mudahan dikabulkan segala cita-citanya. Ada juga orang-orang bau tanah yang membasuh mukanya dengan air enceh yang diandalkan sanggup bikin infinit muda dan menyembuhkan aneka macam penyakit.

Sebelum enceh dibersihkan , apalagi dahulu dijalankan sugengan dengan tahlilan yang dilaksanakan oleh abdi dalem juru kunci Keraton Yogyakarta. Setelah dikuras , enceh diisi dengan air hingga penuh. Kemudian air kurasan tadi dibagikan bagi yang memerlukan , ada juga yang pribadi diminum di tempat.

:
Upacara Adat di Provinsi Jawa Timur Lengkap Penjelasannya
Upacara Adat Tradisional Daerah Jawa Tengah dan Penjelasannya
Kesenian Tradisional Yogyakarta Lengkap , Gambar dan Penjelasannya
Mengenal Keris Senjata Tradisional Yogyakarta , Lengkap Penjelasannya
Advertisement
Advertisement


EmoticonEmoticon