Pengertian Iman Kepada Allah SWT
Pengertian Iman kepada Allah adalah:
a.Membenarkan dengan yakin sepenuh hati akan adanya Allah SWT.
b.Membenarkan dengan yakin sepenuh hati akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya membuat alam makhluk seluruhnya, maupun dalam mendapatkan ibadat segenap makhluk-Nya.
c.Membenarkan dengan yakin sepenuh hati, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk).
Mengakui Akan AdaNya Allah SWT
Mengakui keberadaan Allah ialah mengakui bahwa alam ini memiliki Tuhan yang wajib wujud (ada-Nya), yang qadim azali, yang baqi (kekal), yang tidak serupa dengan segala yang baharu. Dialah yang menyebabkan alam semesta dan tidaklah sekali-kali alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh yang wajib wujud-Nya itu.
Aliran Dari Kitab Tauhid
Para ulama tauhid (ulama kalam), dari kala ke kala terus-menerus menyusun aneka macam rupa kitab tauhid dan kitab kalam.
Dalam garis besarnya kitab-kitab tersebut terbagi atas tiga pedoman yaitu:
(1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash. Di antara pemukanya ialah Imam Ahmad Ibn Hanbal.
(2) Aliran Ahlul I'tizal (Mu'tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn 'Atha'.
(3) Aliran Asy'ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy'ari. jejaknya berturut-turut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani, al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-Baidawi dan ulama-ulama lain mirip ath- Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.
Selain itu terdapat pula pedoman Maturidi, yang dipelopori oleh Abu Manshur al-Maturidi.
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar. Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang sanggup dibantah oleh para filosof dan tidak sanggup dipertahankan.2
Pengertian Ilmu Tauhid
Ada beberapa ta'rif ilmu tauhid yang diberikan oleh para ulama. Di bawah ini disebutkan beberapa diantaranya yang dipandang tepat dengan yang dimaksud.
Pertama: Ilmu tauhid, ialah "ilmu yang membahas dan melengkapkan segala hujjah, terhadap keimanan, berdasarkan dalil-dalil nalar serta menolak dan menangkis segala paham andal bid'ah yang keliru, yang menyimpang dari jalan yang lurus".
Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di dalamnya dibahas:
[1] Tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan bagi-Nya, sifat-sifat yang harus (mumkin) bagi-Nya dan sifat-sifat yang wajib ditolak daripada-Nya.
[2] Tentang kerasulan rasul-rasul untuk mengambarkan dan memutuskan kerasulannya; wacana sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan wacana sifat-sifat yang tidak mungkin baginya.
Ta'rif pertama, memasukkan segala soal keimanan, baik mengenai ketuhanan, kerasulan, maupun mengenai soal-soal mistik yang lain, mirip soal malaikat dan akhirat. Tegasnya, melengkapi Ilahiyat, (soal-soal ketuhanan), nubuwwat (kenabian, kitab, malaikat) dan Sam'iyat (soal-soal keakhiratan, alam gaib). Ta'rif yang kedua mengkhususkan ilmu tauhid dengan soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja.
Dengan berpegang pada ta'rif yang pertama, maka sebahagian ulama tauhid membahas soal-soal malaikat, soal-soal kitab, soal-soal kadar, soal-soal akhirat, dan lain-lain yang berafiliasi dengan soal beriman di pecahan simpulan dari kitab-kitab mereka.
Ulama yang berpegang pada ta'rif yang kedua, hanya membahas soal-soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja. Risalah Tauhid Muhammad Abduh yang sangat populer dalam dunia ilmu pengetahuan ialah salah satu dari kitab yang berpegang pada takrif kedua.
Risalah Tauhid
Perkembangan Ilmu Tauhid Dalam Sejarah Dan Cara Al-Qur'an Membicarakannya
Ilmu yang membahas dasar-dasar kepercayaan kepada Allah dan Rasul, telah sangat bau tanah umumnya. Di setiap umat semenjak zaman purba, ada ulamanya yang membahas ilmu ini. Cuma, mereka dahulu tidak mendasarkan penerangan-penerangan yang mereka ajarkan, kepada alasan-alasan akal; bahkan mereka kurang sekali mendasarkan kepercayaan kepada aturan dan huruf alam.
Al-Qur'an yang didatangkan untuk menyempurnakan segala yang masih kurang, segala yang belum sempurna, menggunakan cara dan sistem berpadanan dengan perkembangan nalar dan kemajuan ilmu. Al-Qur'an menerangkan kepercayaan dengan mengemukakan dalil serta membantah kepercayaan yang salah dengan menunjukkan alasan-alasan yang mengambarkan kesalahannya. Al-Qur'an menghadapkan pembicaraannya kepada nalar serta membangkitkan dari tidurnya dan membangunkan pikiran dengan meminta pula supaya ahli-ahli nalar itu memperhatikan keadaan alam. Maka al-Qur'an-lah nalar bersaudara kembar dengan iman.
Memang diakui oleh ulama-ulama Islam, bahwa diantara "ketetapan agama", ada yang tidak sanggup diitikadkan (diterima kebenarannya) kalau bukan lantaran nalar menetapkannya, seperti: mengetahui (meyakini) ada-Nya Allah, qudrat-Nya, ilmu-Nya dan mirip membenarkan kerasulan seseorang rasul. Demikian juga mereka bermufakat menetapkan, bahwa mungkin agama mendatangkan sesuatu yang belum sanggup dipahami akal. Akan tetapi, mungkin agama mendatangkan yang tidak mungkin pada akal.
Al-Qur'an mensifatkan Tuhan dengan aneka macam sifat yang terdapat namanya pada manusia, seperti: qudrat, ikhtiyar, sama', dan bashar. lantaran al-Qur'an menghargai nalar dan membenarkan aturan akal, maka terbukalah pintu nadhar (penyelidikan) yang lebar bagi ahli-ahli nalar (ahli-ahli nadhar) itu dalam memutuskan apa yang dimaksud oleh al-Qur'an dengan sifat-sifat itu. Pintu nadhar ini membawa kepada berwujud aneka macam rupa paham diantara para andal nalar atau nadhar. Perselisihan yang terjadi lantaran berlainan nadhar ini, dibenarkan al-Qur'an asal saja tidak hingga kepada meniadakan sifat-sifat Tuhan, mirip yang diperbuat oleh golongan Mu'aththilah dan tidak hingga kepada menserupakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk, sebagai yang dilakukan oleh golongan Musyabbihah.
Para ulama salah mensifatkan dewa dengan sifat-sifat yang dewa sifatkan diri-Nya dengan tidak meniadakan-Nya, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan tidak menakwilkannya. Para mutakalimin khalaf mensifatkan Tuhan dengan cara menakwilkan beberapa sifat yang berdasarkan pendapat mereka perlu ditakwilkan. Golongan mutakalimin khalaf membantah ta'thil (meniadakan sifat Tuhan) dan membantah tamsil (menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat rnakhluk).
Ringkasnya, para salaf beritikad sepanjang yang dikehendaki oleh lafadh. tetapi dengan mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk. 4
4. Perhatikan uraian Dr. Muhammad al-Bahy dalam al-Janibul llahi.
Kedudukan Nadhar Dalam Islam
Dalam kitab Hawasyil Isyarat disebutkan, bahwa nadhar itu ialah menggunakan nalar di sekitar duduk perkara yang sanggup dijangkau oleh nalar (ma'qulat).
Para filosof bermufakat, bahwa nadhar itu aturan yang dipakai dalam mengetahui dalil. Alasan yang menegaskan bahwa nadhar ini sah dan menghasilkan keyakinan, ialah bahwa dalam alam ini terdapat kebenaran dan kebatalan. Manusia juga terbagi atas dua macam: Ahli hak dan ahli batal. Tidak sanggup diketahui mana yang hak dan mana yang batal. kalau bukan dengan nadhar. Dengan demikian maka fungsi nadhar (penelitian) ialah untuk menjelaskan hal-hal yang mistik supaya sanggup dicerna oleh nalar disamping memilih mana yang benar diantara dua pendapat yang berbeda. Melalui nadhar, insan sanggup hingga pada pengetahuan yang meyakinkan. Untuk mengetahui mana yang hak dan mana yang batal. mana yang kufur dan mana yang iman, demikian pula untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya lebih terang haruslah melalui nadhar. Karena itu, bertaklid buta. Tidak mau lagi melaksanakan nadhar ialah keliru sesat dan menyesatkan. Dalam al-Qur'an cukup banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan untuk melaksanakan nadhar. Diantara-nya ialah:
Katakanlah ya Muhammad: "Lihatlah apa yang di langit dan di bumi; dan tidak berkhasiat gejala dan peringatan-peringatan kepada kaum yang tidak beriman". (QS. Yunus (l0): 10l).
Mengapakah mereka tidak melihat kepada alam (malakut) langit dan bumi dan kepada apa yang Allah jadikan?. (QS. al-A'raf (7): 185).
Maka ambil ibaratlah wahai andal akal. (QS. al-Hasyr (59): 2).
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim bumi malakut (langit) dan bumi. (QS. al-An'am (6): 75).
Ayat-ayat tersebut diatas ialah nash yang tegas yang mendorong untuk melaksanakan nadhar terhadap segala maujud, dan menjadi nash yang tegas pula yang mewajibkan kita menggunakan qiyas 'aqli atau qiyas manthiqi dan sya'i. Ayat yang terakhir menerangkan, bahwa Allah telah nadhar kepada Ibrahim as.
Kedudukan Akal Dalam Pandangan Islam
Dalam kitab Hawasyil-Isyarat diterangkan bahwa nalar itu, ialah tenaga jiwa untuk memahami mujarradat (sesuatu yang tidak sanggup diraba atau dirasa dengan pancaindera). Kekuatan jiwa yang mempersiapkan untuk memikir (berusaha), dinamai dzihin. Gerakan jiwa untuk memikir sesuatu supaya diperoleh apa yang dimaksudkan, dinamai fikir.
Tersebut dalam suatu kitab falsafah: "Akal itu suatu kekuatan untuk mengetahui makna mujarradat, makna yang diperoleh dari memeriksa dan rupa-rupa benda". memperhatikan rupa-rupa benda". Al-Mawardi dalam A'lamun-Nubuwwah menulis: "Akal itu suatu tenaga yang memberi faedah bagi kita mengetahui segala yang menjadi kepastiannya". Ada pula yang mengatakan: "Akal itu kekuatan yang membedakan yang hak dengan yang batal".
Al-Mawardi membagi nalar kepada: gharizi dan kasbi. Gharizi ialah pokok akal, sedang kasbi ialah cabang yang tumbuh daripadanya: itulah nalar yang dengannya berpaut dan bergantung taklif dan beribadat. Adapun nalar kasbi (akal muktasab), ialah nalar yang dipakai untuk berijtihad dan menjalankan nadhar. Akal ini tidak sanggup terlepas dari nalar gharizi, sedang nalar gharizi mungkin terlepas dari nalar ini.
Martabat Akal Dalam Memahami Hakikat
Para hukama beropini bahwa insan memahami hakikat dengan jalan: [1] dengan pancaindera, dalam hal ini insan sama dengan hewan; dan [2] dengan nalar (rasio).
Mengetahui sesuatu dengan nalar hanya tertentu bagi manusia. Dengan akallah insan berbeda dari binatang.
Orang yang telah biasa memperhatikan soal-soal yang ma'qulat (yang diperoleh melalui akal) konkret kepadanya kemuliaan dan keutamaan yang diketahuinya itu. Baginya terang pula bahwa yang diketahui melalui indera pemandangan nalar sama dengan sesuatu yang masib kabur, dibanding sesuatu yang telah sanggup dipastikan baiknya melalui akal. Inilah sebabnya Al-Qur'an dalam seruannya kepada mengakui ada-Nya Allah dari keesaan-Nya, membangkitkan nalar dari tidurnya. Seruan yang begini, tidak dilakukan oleh umat-umat yang dahulu. sebagai yang sudah dibayangkan sebelum ini.
Bukti Kelebihan Dan Keutamaan Akal Atas Pancaindera
Para hukama telah membuktikan, bahwa nalar lebih mulia dari pancaindera. Apa yang diperoleh nalar lebih berpengaruh dari yang didapati pancaindera.
Alasannya:
[1] Pancaindera hanya sanggup merasa, melihat dan membaui.
[2] Akal sanggup menjelaskan wacana adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan aneka macam soal yang hanya sanggup diperoleh melalui akal, dan aneka macam macam pengetahuan hasil nadhar.
[3] Akal sanggup hingga pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang lahir saja, yaitu yang terasa saja.
[4] Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera ialah berkesudaban (hiss).
Akal Pokok Pengetahuan
Al-Mawardi berpendapat, bahwa dalil itu, ialah sesuatu yang memberikan kepada meyakini mad-lul-nya. Dalil-dalil diyakini dengan jalan nalar dan mad-lul-nya diyakini dengan jalan dalil. Tegasnya, nalar itu memberikan kepada dalil; ia sendiri bukan dalil. Karena nalar itu pokok segala yang diyakini, baik dalil maupun madlul. Mengingat hal ini dapatlah dikatakan, nalar ialah pokok pengetahuan (al-'aqlu ummul 'ulum). Ilmu yang diperoleh daripadanya ialah pembeda kebenaran dari kebatalan; yang shahih yang fasid; yang mumkin dari yang mustahil.
Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal, ada dua macam: Idthirari dan Iktisabi.
1. Ilmu Idthirari, ialah ilmu yang diperoleh dengan mudah, tidak perlu melaksanakan nadhar yang mendalam. Ilmu ini terbagi dua: [1] yang terang dirasakan; dan [2] berita-berita mutawatir.
Ilmu yang dirasakan atau yang diperoleh dengan hiss, tiba setelah akal, dan ilmu khabar mendahului akal.
Ilmu Idthirari ini, tidak memerlukan nadhar dan istidal; lantaran gampang diketahui. Khawwash dan 'awwam sanggup mengetahuinya, ilmu yang diperoleh dengan jalan ini, tidak ada yang mengingkarinya.
2. Ilmu Iktisabi, ialah ilmu yang diperoleh dengan jalan nadhar dan istidal. Dia tidak gampang diperoleh. Ilmu inilah yang memerlukan dalil atau dimintakan dalilnya.
Ilmu Iktisabi ini terbagi dua juga:
- yang ditetapkan oleh nalar (berdasarkan ketetapan-ketetapan akal).
- yang ditetapkan oleh hukum-hukum indera pendengaran (yang diterima dari syara').
Hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan nalar terbagi dua pertama, yang diketahui lantaran mengambil dalil dengan tidak berhajat kepada dalil nalar (nadhar); kedua, yang diketahui lantaran mengambil dalil dengan dalil-dalil akal.
Yang diketahui dengan tidak perlu kepada dalil nalar (nadhar) ialah yang dihentikan ada lawannya, mirip keesaan Allah. Dengan sendirinya nalar dengan gampang mengetahui keesaan Tuhan itu. Yang diketahui dengan memerlukan dalil akal, ialah: yang boleh ada lawannya, mirip seseorang nabi mendakwakan kenabiannya. Ringkasnya mengetahui atau meyakini keesaan Allah tidak memerlukan akan akal; lantaran dengan gampang nalar sanggup mengetahuinya. Adapun meyakini kerasulan seseorang rasul, memerlukan dalil akal.
Ketetapan-ketetapan yang berdasarkan aturan pendengaran, diterima dari Shahibisy Syari'ah, sedang nalar disyaratkan dalam melazimi ketetapan-ketetapan itu, walaupun indera pendengaran tidak disyaratkan dalam soal-soal yang ditetapkan nalar semata-mata.
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh indera pendengaran ada dua macam: yakni: Ta'abbud dan Indzar. Ta'abbud meliputi larangan dan suruhan. Indzar, meliputi wa'ad dan wa'id.
Jalan Mengetahui ada-Nya Allah
Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui ada-Nya Allah ialah daruri, jikalau ditinjau dari sudut akal, dan nadari dari sudut hiss pancaindera.
Ilmu kadang kala dituntut melalui akal, dalam soal-soal yang sanggup dipikirkan (ma'qulat), kadang kala dituntut dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal yang dirasakan. Seseorang insan sanggup memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah ialah suatu iktisab (hal yang diperoleh dengan jalan istidlal): lantaran hiss itu mencari-cari dan membolak-balikkan duduk perkara dengan dukungan akal. Dia sanggup pula memikiri, bahwa mengetahui ada-Nya Allah, daruri; lantaran nalar yang sejahtera menggerakkan insan kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan nalar mengingkari-Nya.
Al-Farabi dalam al-Fushush (fash yang empat belas, menulis: "Anda sanggup memperhatikan alam makhluk, kalau anda lihat gejala pembuatan. Tetapi juga anda sanggup meninjau alam mahad (alam yang terlepas dari kebendaan), kemudian anda yakini, bahwa dihentikan tidak ada-Nya Zat. Dan sanggup pula anda mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang ada pada Zat itu. Kalau anda memandang alam maddah, berarti anda naik dan kalau anda memperhatikan alam mahad, berarti anda turun".
(sumber refferensi:wikipedia.org)
Pengertian Iman kepada Allah adalah:
a.Membenarkan dengan yakin sepenuh hati akan adanya Allah SWT.
b.Membenarkan dengan yakin sepenuh hati akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya membuat alam makhluk seluruhnya, maupun dalam mendapatkan ibadat segenap makhluk-Nya.
c.Membenarkan dengan yakin sepenuh hati, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk).
Mengakui Akan AdaNya Allah SWT
Mengakui keberadaan Allah ialah mengakui bahwa alam ini memiliki Tuhan yang wajib wujud (ada-Nya), yang qadim azali, yang baqi (kekal), yang tidak serupa dengan segala yang baharu. Dialah yang menyebabkan alam semesta dan tidaklah sekali-kali alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh yang wajib wujud-Nya itu.
Aliran Dari Kitab Tauhid
Para ulama tauhid (ulama kalam), dari kala ke kala terus-menerus menyusun aneka macam rupa kitab tauhid dan kitab kalam.
Dalam garis besarnya kitab-kitab tersebut terbagi atas tiga pedoman yaitu:
(1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash. Di antara pemukanya ialah Imam Ahmad Ibn Hanbal.
(2) Aliran Ahlul I'tizal (Mu'tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn 'Atha'.
(3) Aliran Asy'ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy'ari. jejaknya berturut-turut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani, al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-Baidawi dan ulama-ulama lain mirip ath- Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.
Selain itu terdapat pula pedoman Maturidi, yang dipelopori oleh Abu Manshur al-Maturidi.
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar. Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang sanggup dibantah oleh para filosof dan tidak sanggup dipertahankan.2
Pengertian Ilmu Tauhid
Ada beberapa ta'rif ilmu tauhid yang diberikan oleh para ulama. Di bawah ini disebutkan beberapa diantaranya yang dipandang tepat dengan yang dimaksud.
Pertama: Ilmu tauhid, ialah "ilmu yang membahas dan melengkapkan segala hujjah, terhadap keimanan, berdasarkan dalil-dalil nalar serta menolak dan menangkis segala paham andal bid'ah yang keliru, yang menyimpang dari jalan yang lurus".
Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di dalamnya dibahas:
[1] Tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan bagi-Nya, sifat-sifat yang harus (mumkin) bagi-Nya dan sifat-sifat yang wajib ditolak daripada-Nya.
[2] Tentang kerasulan rasul-rasul untuk mengambarkan dan memutuskan kerasulannya; wacana sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan wacana sifat-sifat yang tidak mungkin baginya.
Ta'rif pertama, memasukkan segala soal keimanan, baik mengenai ketuhanan, kerasulan, maupun mengenai soal-soal mistik yang lain, mirip soal malaikat dan akhirat. Tegasnya, melengkapi Ilahiyat, (soal-soal ketuhanan), nubuwwat (kenabian, kitab, malaikat) dan Sam'iyat (soal-soal keakhiratan, alam gaib). Ta'rif yang kedua mengkhususkan ilmu tauhid dengan soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja.
Dengan berpegang pada ta'rif yang pertama, maka sebahagian ulama tauhid membahas soal-soal malaikat, soal-soal kitab, soal-soal kadar, soal-soal akhirat, dan lain-lain yang berafiliasi dengan soal beriman di pecahan simpulan dari kitab-kitab mereka.
Ulama yang berpegang pada ta'rif yang kedua, hanya membahas soal-soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja. Risalah Tauhid Muhammad Abduh yang sangat populer dalam dunia ilmu pengetahuan ialah salah satu dari kitab yang berpegang pada takrif kedua.
Risalah Tauhid
Perkembangan Ilmu Tauhid Dalam Sejarah Dan Cara Al-Qur'an Membicarakannya
Ilmu yang membahas dasar-dasar kepercayaan kepada Allah dan Rasul, telah sangat bau tanah umumnya. Di setiap umat semenjak zaman purba, ada ulamanya yang membahas ilmu ini. Cuma, mereka dahulu tidak mendasarkan penerangan-penerangan yang mereka ajarkan, kepada alasan-alasan akal; bahkan mereka kurang sekali mendasarkan kepercayaan kepada aturan dan huruf alam.
Al-Qur'an yang didatangkan untuk menyempurnakan segala yang masih kurang, segala yang belum sempurna, menggunakan cara dan sistem berpadanan dengan perkembangan nalar dan kemajuan ilmu. Al-Qur'an menerangkan kepercayaan dengan mengemukakan dalil serta membantah kepercayaan yang salah dengan menunjukkan alasan-alasan yang mengambarkan kesalahannya. Al-Qur'an menghadapkan pembicaraannya kepada nalar serta membangkitkan dari tidurnya dan membangunkan pikiran dengan meminta pula supaya ahli-ahli nalar itu memperhatikan keadaan alam. Maka al-Qur'an-lah nalar bersaudara kembar dengan iman.
Memang diakui oleh ulama-ulama Islam, bahwa diantara "ketetapan agama", ada yang tidak sanggup diitikadkan (diterima kebenarannya) kalau bukan lantaran nalar menetapkannya, seperti: mengetahui (meyakini) ada-Nya Allah, qudrat-Nya, ilmu-Nya dan mirip membenarkan kerasulan seseorang rasul. Demikian juga mereka bermufakat menetapkan, bahwa mungkin agama mendatangkan sesuatu yang belum sanggup dipahami akal. Akan tetapi, mungkin agama mendatangkan yang tidak mungkin pada akal.
Al-Qur'an mensifatkan Tuhan dengan aneka macam sifat yang terdapat namanya pada manusia, seperti: qudrat, ikhtiyar, sama', dan bashar. lantaran al-Qur'an menghargai nalar dan membenarkan aturan akal, maka terbukalah pintu nadhar (penyelidikan) yang lebar bagi ahli-ahli nalar (ahli-ahli nadhar) itu dalam memutuskan apa yang dimaksud oleh al-Qur'an dengan sifat-sifat itu. Pintu nadhar ini membawa kepada berwujud aneka macam rupa paham diantara para andal nalar atau nadhar. Perselisihan yang terjadi lantaran berlainan nadhar ini, dibenarkan al-Qur'an asal saja tidak hingga kepada meniadakan sifat-sifat Tuhan, mirip yang diperbuat oleh golongan Mu'aththilah dan tidak hingga kepada menserupakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk, sebagai yang dilakukan oleh golongan Musyabbihah.
Para ulama salah mensifatkan dewa dengan sifat-sifat yang dewa sifatkan diri-Nya dengan tidak meniadakan-Nya, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan tidak menakwilkannya. Para mutakalimin khalaf mensifatkan Tuhan dengan cara menakwilkan beberapa sifat yang berdasarkan pendapat mereka perlu ditakwilkan. Golongan mutakalimin khalaf membantah ta'thil (meniadakan sifat Tuhan) dan membantah tamsil (menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat rnakhluk).
Ringkasnya, para salaf beritikad sepanjang yang dikehendaki oleh lafadh. tetapi dengan mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk. 4
4. Perhatikan uraian Dr. Muhammad al-Bahy dalam al-Janibul llahi.
Kedudukan Nadhar Dalam Islam
Dalam kitab Hawasyil Isyarat disebutkan, bahwa nadhar itu ialah menggunakan nalar di sekitar duduk perkara yang sanggup dijangkau oleh nalar (ma'qulat).
Para filosof bermufakat, bahwa nadhar itu aturan yang dipakai dalam mengetahui dalil. Alasan yang menegaskan bahwa nadhar ini sah dan menghasilkan keyakinan, ialah bahwa dalam alam ini terdapat kebenaran dan kebatalan. Manusia juga terbagi atas dua macam: Ahli hak dan ahli batal. Tidak sanggup diketahui mana yang hak dan mana yang batal. kalau bukan dengan nadhar. Dengan demikian maka fungsi nadhar (penelitian) ialah untuk menjelaskan hal-hal yang mistik supaya sanggup dicerna oleh nalar disamping memilih mana yang benar diantara dua pendapat yang berbeda. Melalui nadhar, insan sanggup hingga pada pengetahuan yang meyakinkan. Untuk mengetahui mana yang hak dan mana yang batal. mana yang kufur dan mana yang iman, demikian pula untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya lebih terang haruslah melalui nadhar. Karena itu, bertaklid buta. Tidak mau lagi melaksanakan nadhar ialah keliru sesat dan menyesatkan. Dalam al-Qur'an cukup banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan untuk melaksanakan nadhar. Diantara-nya ialah:
Katakanlah ya Muhammad: "Lihatlah apa yang di langit dan di bumi; dan tidak berkhasiat gejala dan peringatan-peringatan kepada kaum yang tidak beriman". (QS. Yunus (l0): 10l).
Mengapakah mereka tidak melihat kepada alam (malakut) langit dan bumi dan kepada apa yang Allah jadikan?. (QS. al-A'raf (7): 185).
Maka ambil ibaratlah wahai andal akal. (QS. al-Hasyr (59): 2).
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim bumi malakut (langit) dan bumi. (QS. al-An'am (6): 75).
Ayat-ayat tersebut diatas ialah nash yang tegas yang mendorong untuk melaksanakan nadhar terhadap segala maujud, dan menjadi nash yang tegas pula yang mewajibkan kita menggunakan qiyas 'aqli atau qiyas manthiqi dan sya'i. Ayat yang terakhir menerangkan, bahwa Allah telah nadhar kepada Ibrahim as.
Kedudukan Akal Dalam Pandangan Islam
Dalam kitab Hawasyil-Isyarat diterangkan bahwa nalar itu, ialah tenaga jiwa untuk memahami mujarradat (sesuatu yang tidak sanggup diraba atau dirasa dengan pancaindera). Kekuatan jiwa yang mempersiapkan untuk memikir (berusaha), dinamai dzihin. Gerakan jiwa untuk memikir sesuatu supaya diperoleh apa yang dimaksudkan, dinamai fikir.
Tersebut dalam suatu kitab falsafah: "Akal itu suatu kekuatan untuk mengetahui makna mujarradat, makna yang diperoleh dari memeriksa dan rupa-rupa benda". memperhatikan rupa-rupa benda". Al-Mawardi dalam A'lamun-Nubuwwah menulis: "Akal itu suatu tenaga yang memberi faedah bagi kita mengetahui segala yang menjadi kepastiannya". Ada pula yang mengatakan: "Akal itu kekuatan yang membedakan yang hak dengan yang batal".
Al-Mawardi membagi nalar kepada: gharizi dan kasbi. Gharizi ialah pokok akal, sedang kasbi ialah cabang yang tumbuh daripadanya: itulah nalar yang dengannya berpaut dan bergantung taklif dan beribadat. Adapun nalar kasbi (akal muktasab), ialah nalar yang dipakai untuk berijtihad dan menjalankan nadhar. Akal ini tidak sanggup terlepas dari nalar gharizi, sedang nalar gharizi mungkin terlepas dari nalar ini.
Martabat Akal Dalam Memahami Hakikat
Para hukama beropini bahwa insan memahami hakikat dengan jalan: [1] dengan pancaindera, dalam hal ini insan sama dengan hewan; dan [2] dengan nalar (rasio).
Mengetahui sesuatu dengan nalar hanya tertentu bagi manusia. Dengan akallah insan berbeda dari binatang.
Orang yang telah biasa memperhatikan soal-soal yang ma'qulat (yang diperoleh melalui akal) konkret kepadanya kemuliaan dan keutamaan yang diketahuinya itu. Baginya terang pula bahwa yang diketahui melalui indera pemandangan nalar sama dengan sesuatu yang masib kabur, dibanding sesuatu yang telah sanggup dipastikan baiknya melalui akal. Inilah sebabnya Al-Qur'an dalam seruannya kepada mengakui ada-Nya Allah dari keesaan-Nya, membangkitkan nalar dari tidurnya. Seruan yang begini, tidak dilakukan oleh umat-umat yang dahulu. sebagai yang sudah dibayangkan sebelum ini.
Bukti Kelebihan Dan Keutamaan Akal Atas Pancaindera
Para hukama telah membuktikan, bahwa nalar lebih mulia dari pancaindera. Apa yang diperoleh nalar lebih berpengaruh dari yang didapati pancaindera.
Alasannya:
[1] Pancaindera hanya sanggup merasa, melihat dan membaui.
[2] Akal sanggup menjelaskan wacana adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan aneka macam soal yang hanya sanggup diperoleh melalui akal, dan aneka macam macam pengetahuan hasil nadhar.
[3] Akal sanggup hingga pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang lahir saja, yaitu yang terasa saja.
[4] Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera ialah berkesudaban (hiss).
Akal Pokok Pengetahuan
Al-Mawardi berpendapat, bahwa dalil itu, ialah sesuatu yang memberikan kepada meyakini mad-lul-nya. Dalil-dalil diyakini dengan jalan nalar dan mad-lul-nya diyakini dengan jalan dalil. Tegasnya, nalar itu memberikan kepada dalil; ia sendiri bukan dalil. Karena nalar itu pokok segala yang diyakini, baik dalil maupun madlul. Mengingat hal ini dapatlah dikatakan, nalar ialah pokok pengetahuan (al-'aqlu ummul 'ulum). Ilmu yang diperoleh daripadanya ialah pembeda kebenaran dari kebatalan; yang shahih yang fasid; yang mumkin dari yang mustahil.
Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal, ada dua macam: Idthirari dan Iktisabi.
1. Ilmu Idthirari, ialah ilmu yang diperoleh dengan mudah, tidak perlu melaksanakan nadhar yang mendalam. Ilmu ini terbagi dua: [1] yang terang dirasakan; dan [2] berita-berita mutawatir.
Ilmu yang dirasakan atau yang diperoleh dengan hiss, tiba setelah akal, dan ilmu khabar mendahului akal.
Ilmu Idthirari ini, tidak memerlukan nadhar dan istidal; lantaran gampang diketahui. Khawwash dan 'awwam sanggup mengetahuinya, ilmu yang diperoleh dengan jalan ini, tidak ada yang mengingkarinya.
2. Ilmu Iktisabi, ialah ilmu yang diperoleh dengan jalan nadhar dan istidal. Dia tidak gampang diperoleh. Ilmu inilah yang memerlukan dalil atau dimintakan dalilnya.
Ilmu Iktisabi ini terbagi dua juga:
- yang ditetapkan oleh nalar (berdasarkan ketetapan-ketetapan akal).
- yang ditetapkan oleh hukum-hukum indera pendengaran (yang diterima dari syara').
Hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan nalar terbagi dua pertama, yang diketahui lantaran mengambil dalil dengan tidak berhajat kepada dalil nalar (nadhar); kedua, yang diketahui lantaran mengambil dalil dengan dalil-dalil akal.
Yang diketahui dengan tidak perlu kepada dalil nalar (nadhar) ialah yang dihentikan ada lawannya, mirip keesaan Allah. Dengan sendirinya nalar dengan gampang mengetahui keesaan Tuhan itu. Yang diketahui dengan memerlukan dalil akal, ialah: yang boleh ada lawannya, mirip seseorang nabi mendakwakan kenabiannya. Ringkasnya mengetahui atau meyakini keesaan Allah tidak memerlukan akan akal; lantaran dengan gampang nalar sanggup mengetahuinya. Adapun meyakini kerasulan seseorang rasul, memerlukan dalil akal.
Ketetapan-ketetapan yang berdasarkan aturan pendengaran, diterima dari Shahibisy Syari'ah, sedang nalar disyaratkan dalam melazimi ketetapan-ketetapan itu, walaupun indera pendengaran tidak disyaratkan dalam soal-soal yang ditetapkan nalar semata-mata.
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh indera pendengaran ada dua macam: yakni: Ta'abbud dan Indzar. Ta'abbud meliputi larangan dan suruhan. Indzar, meliputi wa'ad dan wa'id.
Jalan Mengetahui ada-Nya Allah
Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui ada-Nya Allah ialah daruri, jikalau ditinjau dari sudut akal, dan nadari dari sudut hiss pancaindera.
Ilmu kadang kala dituntut melalui akal, dalam soal-soal yang sanggup dipikirkan (ma'qulat), kadang kala dituntut dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal yang dirasakan. Seseorang insan sanggup memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah ialah suatu iktisab (hal yang diperoleh dengan jalan istidlal): lantaran hiss itu mencari-cari dan membolak-balikkan duduk perkara dengan dukungan akal. Dia sanggup pula memikiri, bahwa mengetahui ada-Nya Allah, daruri; lantaran nalar yang sejahtera menggerakkan insan kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan nalar mengingkari-Nya.
Al-Farabi dalam al-Fushush (fash yang empat belas, menulis: "Anda sanggup memperhatikan alam makhluk, kalau anda lihat gejala pembuatan. Tetapi juga anda sanggup meninjau alam mahad (alam yang terlepas dari kebendaan), kemudian anda yakini, bahwa dihentikan tidak ada-Nya Zat. Dan sanggup pula anda mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang ada pada Zat itu. Kalau anda memandang alam maddah, berarti anda naik dan kalau anda memperhatikan alam mahad, berarti anda turun".
(sumber refferensi:wikipedia.org)
Advertisement
Baca juga:
Advertisement
EmoticonEmoticon