Pengaruh Hindu dan Buddha tiba ke Indonesia hampir berbarengan. Secara garis besar kita sanggup melihat dampak tersebut dari berdirinya beberapa kerajaan besar yang pernah berdiri di Indonesia, dari mulai Kutai yang menguasai sebagian Kalimantan hingga Majapahit yang bisa menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri. Kerajaan-kerajaan tersebut telah begitu usang menancapkan taring-taring kekuasaannya di Indonesia hingga berabad-abad sehingga keberadaan dan pengaruh agama tersebut besar lengan berkuasa dalam kehidupan Indonesia. Pengaruh agama Hindu-Buddha masih terlihat hingga hari ini dalam kehidupan sebagian umat Islam di Indonesia dari mulai bahasa, peribadatan, pakaian, kesenian.
Sebelum bersinggungan dengan Hindu-Buddha, masyarakat Indonesia menganut kepercayaan tradisional berupa penghormatan terhadap roh leluhur dan kekuatan alam semesta dan bendabenda tertentu (animisme dan dinamisme). Pengaruh HinduBuddha membuat kepercayaan animisme-dinamisme beralih kepada dewa-dewi pengatur alam. Masyarakat Indonesia mulai menyembah dewa-dewi yang sama dengan yang di India.
(Patung Buddha tertua (dari perunggu) buatan masa ke-2 M yang ditemukan di Sikendeng, Sulawesi Selatan)
Awalnya, agama Buddha lebih dulu berkembang di Indonesia. Di Indonesia (juga Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, Laos) aliran Hinayanalah yang berkembang, sedangkan aliran Mahayana lebih berkembang di Cina, Korea, Taiwan, dan Jepang. Perkembangan Buddha awal di Indonesia dibuktikan oleh temuan patung Buddha dari masa ke-2 M di Sikendeng, Sulawesi Selatan. Contoh lainnya yaitu Kerajaan Sriwijaya yang telah ada pada masa ke-6 M di Sumatera. Perkembangan Buddha yang pesat di Asia Tenggara pada awal masa masehi disebabkan oleh faktor-faktor politis.
Ketika itu agama Buddha sedang mencapai masa keemasannya di Asia, terutama di India dan Cina. Banyak kerajaaan yang menjadikan Buddha sebagai agama resmi negara, selain Hindu.
Namun kemudian, agama Buddha kehilangan kejayaaan dikarenakan sejumlah kerajaan Buddhis mengalami keruntuhannya. Sebaliknya, Hindulah yang kemudian menjadi agama resmi kerajaan-kerajaan yang bersangkutan
Di Indonesia, kerajaan bercorak Hindu lebih berkembang daripada yang Buddha. Pada perkembangannya, bahkan muncul agama “baru” atau agama sinkretis, yakni perpaduan dari Hindu Siwa dengan Buddha. Agama Siwa-Buddha mulai berkembang pesat pada masa Singasari di Jawa Timur, masa orang-orang Jawa telah membuat karya seni dan arsitektur di mana unsur Jawa lebih ditonjolkan daripada unsur India. Disebutkan dalam kitabkitab dan pada bangunan candi-candi bahwa raja-raja Singasari menyerupai Kertanegara dan Wisnuwardhanaadalah penganut agama gres ini.
Adapun proses dan waktu kapan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia hingga kini masih menjadi perdebatan di antara para sejarawan. Setidaknya terdapat empat pendapat, yang masing masing pendapat bergotong-royong saling menguatkan. Adapun pendapat-pendapat perihal masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia yaitu sebagai berikut:
(1) Teori Brahmana, mengatakan bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia yaitu orang-orang Hindu berkasta brahmana. Para brahmana yang tiba ke Indonesia merupakan tamu seruan dari raja-raja penganut agama tradisonal di Indonesia. Ketika tiba di Indonesia, para brahmana ini risikonya ikut membuatkan agama Hindu di Indonesia. Ilmuan yang mengusung teori ini yaitu Van Leur.
(2) Teori Waisya, mengatakan bahwa yang telah berhasil mendatangkan Hindu ke Indonesia yaitu kasta waisya, terutama para pedagang. Para pedagang banyak mempunyai korelasi yang besar lengan berkuasa dengan para raja yang terdapat di kerajaan Nusantara. Agar bisnis mereka di Indonesia lancar, mereka sebagai pedagang absurd tentunya harus membuat para penguasa pribumi senang, dengan cara dihadiahi barang-barang dagangan.
Dengan demikian, para pedagang absurd ini menerima pinjaman dari raja setempat. Di tengah-tengah kegiatan perdagangan itulah, para pedagang tersebut membuatkan budaya dan agama Hindu ke tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ilmuwan yang mencetuskan teori ini yaitu N.J. Krom.
(3) Teori Ksatria, menyampaikan bahwa proses kedatangan agama Hindu ke Indonesia dilangsungkan oleh para ksatria, yakni golongan aristokrat dan prajurit perang. Menurut teori ini, kedatangan para ksatria ke Indonesia disebabkan oleh dilema politik yang terus berlangsung di India sehingga mengakibatkan beberapa pihak yang kalah dalam peperangan tersebut terdesak, dan para ksatria yang kalah risikonya mencari daerah lain sebagai pelarian, salah satunya ke wilayah Indonesia. Ilmuan yang mengusung teori ini yaitu C.C. Berg dan Mookerji.
(4) Teori Arus Balik, menyampaikan bahwa yang telah berperan dalam membuatkan Hindu di Indonesia yaitu orang Indonesia sendiri. Mereka yaitu orang yang pernah berkunjung ke India untuk mempelajari agama Hindu dan Buddha. Di pengembaraan mereka mendirikan sebuah organisasi yang
sering disebut sanggha. Setelah kembali di Indonesia, risikonya mereka membuatkan kembali pedoman yang telah mereka dapatkan di India. Pendapat ini dikemukakan oleh F.D.K. Bosch.
Kedatangan brahmana—dari India maupun lokal—dipergunakan pula oleh sebagian golongan pedagang pribumi atau kepala suku yang ingin kedudukan dan tingkat sosialnya meningkat. Melalui persetujuan kaum brahmana, mereka dinobatkan menjadi penguasa secara politis (raja). Para penguasa gres ini lalu mencar ilmu konsep dewa-raja (devaraja) biar kekuasaannya semakin kuat. Dengan demikian, baik secara ekonomi, sosial, dan politik, golongan pedagang atau pemimpin suku tersebut menjadi lebih terhormat lantaran kekuasaannya pun bertambah luas. Setelah menjadi raja, mereka mempersenjatai dirinya dengan pengikutpengikutnya yang setia untuk dijadikan tentara biar keamanannya terjamin. Dalam memperluas wilayah pun, mereka lebih leluasa dan percaya diri.
Setelah sebuah kerajaan didirikan, sistem feodal pun berlaku. Feodalisme yaitu “sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan” (KBBI, 2002).
Dengan demikian, raja yaitu yang memilih ke arah mana kerajaan akan bergulir. Praktik feodalisme ini cukup berkembang pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, terutama di Jawa.
Pengkastaan dalam masyarakat membuat korelasi feodalistik semakin menguat. Feodalisme menjamin stabilitas politik yang diharapkan seorang raja untuk keberlangsungan kerajaannya. Sistem kasta ini membagi masyarakat dalam beberapa tingkatan sosial, yakni:
(1) Brahmana yang berperan sebagai penasehat raja dan pendidik agama.
(2) Ksatria yang terdiri atas penyelenggara dan penata pemerintahan serta pembela kerajaan (raja, pembantu raja, tentara).
(3) Waisya yang berperan sebagai pedagang, pengrajin, petani, nelayan, dan pelaku seni.
(4) Sudra yang terdiri atas pekerja rendah, buruh, budak, pembantu.
Sementara itu, dalam kerajaan Buddhis pengkastaan tak terlalu berperan lantaran pedoman Buddha tidak mengenal pengkastaan. Dalam hal ini, masyarakat Buddhis lebih demokratis dan egalitis. Maka dari itu, sistem feodal lebih berkembang di kerajaan-kerajaan bercorak Hindu.
Dalam memilih kebijakan, raja dibantu oleh kaum pandita (pendeta) dan brahmana sebagai penasehat spiritual dan duniawi. Merekalah kelompok yang mengetahui isi kitab suci yang ditulis dalam Sansekerta. Akibatnya, masyarakat awam tak mungkin mengetahui isi kitab suci tanpa mediator brahmana. Mereka mempunyai hak mutlak dalam mengatur sebuah upacara agama, seperti peringatan hari-hari suci, pengangkatan raja, pelantikan piagam atau prasasti, atau ijab kabul golongan bangsawan. Mereka pula
yang merintis pembangunan sekolah-sekolah dan asrama-asrama dalam masyarakat Buddha. Kedudukan mereka sanggup disamakan dengan kalangan ulama dan cendikiawan zaman sekarang.
(bse sejarah Triyono)
Tag: Teori Brahmana, Teori Waisya, Teori Ksatria, Teori Arus Balik, Sistem Kasta Pada Agama Hindu.
Sebelum bersinggungan dengan Hindu-Buddha, masyarakat Indonesia menganut kepercayaan tradisional berupa penghormatan terhadap roh leluhur dan kekuatan alam semesta dan bendabenda tertentu (animisme dan dinamisme). Pengaruh HinduBuddha membuat kepercayaan animisme-dinamisme beralih kepada dewa-dewi pengatur alam. Masyarakat Indonesia mulai menyembah dewa-dewi yang sama dengan yang di India.
(Patung Buddha tertua (dari perunggu) buatan masa ke-2 M yang ditemukan di Sikendeng, Sulawesi Selatan)
Awalnya, agama Buddha lebih dulu berkembang di Indonesia. Di Indonesia (juga Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, Laos) aliran Hinayanalah yang berkembang, sedangkan aliran Mahayana lebih berkembang di Cina, Korea, Taiwan, dan Jepang. Perkembangan Buddha awal di Indonesia dibuktikan oleh temuan patung Buddha dari masa ke-2 M di Sikendeng, Sulawesi Selatan. Contoh lainnya yaitu Kerajaan Sriwijaya yang telah ada pada masa ke-6 M di Sumatera. Perkembangan Buddha yang pesat di Asia Tenggara pada awal masa masehi disebabkan oleh faktor-faktor politis.
Ketika itu agama Buddha sedang mencapai masa keemasannya di Asia, terutama di India dan Cina. Banyak kerajaaan yang menjadikan Buddha sebagai agama resmi negara, selain Hindu.
Namun kemudian, agama Buddha kehilangan kejayaaan dikarenakan sejumlah kerajaan Buddhis mengalami keruntuhannya. Sebaliknya, Hindulah yang kemudian menjadi agama resmi kerajaan-kerajaan yang bersangkutan
Di Indonesia, kerajaan bercorak Hindu lebih berkembang daripada yang Buddha. Pada perkembangannya, bahkan muncul agama “baru” atau agama sinkretis, yakni perpaduan dari Hindu Siwa dengan Buddha. Agama Siwa-Buddha mulai berkembang pesat pada masa Singasari di Jawa Timur, masa orang-orang Jawa telah membuat karya seni dan arsitektur di mana unsur Jawa lebih ditonjolkan daripada unsur India. Disebutkan dalam kitabkitab dan pada bangunan candi-candi bahwa raja-raja Singasari menyerupai Kertanegara dan Wisnuwardhanaadalah penganut agama gres ini.
Adapun proses dan waktu kapan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia hingga kini masih menjadi perdebatan di antara para sejarawan. Setidaknya terdapat empat pendapat, yang masing masing pendapat bergotong-royong saling menguatkan. Adapun pendapat-pendapat perihal masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia yaitu sebagai berikut:
(1) Teori Brahmana, mengatakan bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia yaitu orang-orang Hindu berkasta brahmana. Para brahmana yang tiba ke Indonesia merupakan tamu seruan dari raja-raja penganut agama tradisonal di Indonesia. Ketika tiba di Indonesia, para brahmana ini risikonya ikut membuatkan agama Hindu di Indonesia. Ilmuan yang mengusung teori ini yaitu Van Leur.
(2) Teori Waisya, mengatakan bahwa yang telah berhasil mendatangkan Hindu ke Indonesia yaitu kasta waisya, terutama para pedagang. Para pedagang banyak mempunyai korelasi yang besar lengan berkuasa dengan para raja yang terdapat di kerajaan Nusantara. Agar bisnis mereka di Indonesia lancar, mereka sebagai pedagang absurd tentunya harus membuat para penguasa pribumi senang, dengan cara dihadiahi barang-barang dagangan.
Dengan demikian, para pedagang absurd ini menerima pinjaman dari raja setempat. Di tengah-tengah kegiatan perdagangan itulah, para pedagang tersebut membuatkan budaya dan agama Hindu ke tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ilmuwan yang mencetuskan teori ini yaitu N.J. Krom.
(3) Teori Ksatria, menyampaikan bahwa proses kedatangan agama Hindu ke Indonesia dilangsungkan oleh para ksatria, yakni golongan aristokrat dan prajurit perang. Menurut teori ini, kedatangan para ksatria ke Indonesia disebabkan oleh dilema politik yang terus berlangsung di India sehingga mengakibatkan beberapa pihak yang kalah dalam peperangan tersebut terdesak, dan para ksatria yang kalah risikonya mencari daerah lain sebagai pelarian, salah satunya ke wilayah Indonesia. Ilmuan yang mengusung teori ini yaitu C.C. Berg dan Mookerji.
(4) Teori Arus Balik, menyampaikan bahwa yang telah berperan dalam membuatkan Hindu di Indonesia yaitu orang Indonesia sendiri. Mereka yaitu orang yang pernah berkunjung ke India untuk mempelajari agama Hindu dan Buddha. Di pengembaraan mereka mendirikan sebuah organisasi yang
sering disebut sanggha. Setelah kembali di Indonesia, risikonya mereka membuatkan kembali pedoman yang telah mereka dapatkan di India. Pendapat ini dikemukakan oleh F.D.K. Bosch.
Kedatangan brahmana—dari India maupun lokal—dipergunakan pula oleh sebagian golongan pedagang pribumi atau kepala suku yang ingin kedudukan dan tingkat sosialnya meningkat. Melalui persetujuan kaum brahmana, mereka dinobatkan menjadi penguasa secara politis (raja). Para penguasa gres ini lalu mencar ilmu konsep dewa-raja (devaraja) biar kekuasaannya semakin kuat. Dengan demikian, baik secara ekonomi, sosial, dan politik, golongan pedagang atau pemimpin suku tersebut menjadi lebih terhormat lantaran kekuasaannya pun bertambah luas. Setelah menjadi raja, mereka mempersenjatai dirinya dengan pengikutpengikutnya yang setia untuk dijadikan tentara biar keamanannya terjamin. Dalam memperluas wilayah pun, mereka lebih leluasa dan percaya diri.
Setelah sebuah kerajaan didirikan, sistem feodal pun berlaku. Feodalisme yaitu “sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan” (KBBI, 2002).
Dengan demikian, raja yaitu yang memilih ke arah mana kerajaan akan bergulir. Praktik feodalisme ini cukup berkembang pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, terutama di Jawa.
Pengkastaan dalam masyarakat membuat korelasi feodalistik semakin menguat. Feodalisme menjamin stabilitas politik yang diharapkan seorang raja untuk keberlangsungan kerajaannya. Sistem kasta ini membagi masyarakat dalam beberapa tingkatan sosial, yakni:
(1) Brahmana yang berperan sebagai penasehat raja dan pendidik agama.
(2) Ksatria yang terdiri atas penyelenggara dan penata pemerintahan serta pembela kerajaan (raja, pembantu raja, tentara).
(3) Waisya yang berperan sebagai pedagang, pengrajin, petani, nelayan, dan pelaku seni.
(4) Sudra yang terdiri atas pekerja rendah, buruh, budak, pembantu.
Sementara itu, dalam kerajaan Buddhis pengkastaan tak terlalu berperan lantaran pedoman Buddha tidak mengenal pengkastaan. Dalam hal ini, masyarakat Buddhis lebih demokratis dan egalitis. Maka dari itu, sistem feodal lebih berkembang di kerajaan-kerajaan bercorak Hindu.
Dalam memilih kebijakan, raja dibantu oleh kaum pandita (pendeta) dan brahmana sebagai penasehat spiritual dan duniawi. Merekalah kelompok yang mengetahui isi kitab suci yang ditulis dalam Sansekerta. Akibatnya, masyarakat awam tak mungkin mengetahui isi kitab suci tanpa mediator brahmana. Mereka mempunyai hak mutlak dalam mengatur sebuah upacara agama, seperti peringatan hari-hari suci, pengangkatan raja, pelantikan piagam atau prasasti, atau ijab kabul golongan bangsawan. Mereka pula
yang merintis pembangunan sekolah-sekolah dan asrama-asrama dalam masyarakat Buddha. Kedudukan mereka sanggup disamakan dengan kalangan ulama dan cendikiawan zaman sekarang.
(bse sejarah Triyono)
Tag: Teori Brahmana, Teori Waisya, Teori Ksatria, Teori Arus Balik, Sistem Kasta Pada Agama Hindu.
Advertisement
Baca juga:
Advertisement
EmoticonEmoticon