Berimajinasi merupakan suatu cara yang dilakukan untuk sanggup menghasilkan gerakan. Berimajinasi sanggup dirangsang dengan cara mencicipi hal yang diperoleh panca indera. Hal tersebut sanggup berupa segala sesuatu yang terdapat di alam sekitar, baik berupa pemandangan, suara, rasa, aroma, dan sebagainya. Misalnya, berimajinasi dengan cara mendengarkan musik akan merangsang kita melakukan gerakan spontan. Dan mungkin saja gerakan impulsif tersebut akan menjadi dasar bagi gerakan-gerakan selanjutnya sehingga terciptalah sebuah tarian. Rangsangan lain yang sanggup menggugah imajinasi yakni dengan mempelajari atau mengapresiasi ragam, bentuk dan makna tari-tari Nusantara, menyerupai yang telah dipelajari pada pelajaran terdahulu. Selain itu, dengan mengenal tokoh seni tari pun sanggup membantu kita merangsang berimajinasi dalam membuat gerakan tarian. Oleh alasannya yakni itu, mari kita mengenal beberapa tokoh seni tari berikut.
1. Bagong Kussudiardjo
Koreografer dan pelukis kenamaan yang digelari begawan seni ini lahir di Yogyakarta, 9 Oktober 1928. Dalam dunia tari Indonesia, sempat muncul aliran ‘Bagongisme’, yang merujuk pada huruf tarian-tarian khas Bagong. Sebagai pencipta tari dan koreografer, Bagong bisa melahirkan dan membawakan tari-tarian dengan gerak-gerak yang dimanis, energik, dan hidup.
Selain energik, Bagong juga mendasarkan estetika seni tarinya pada keikhlasan untuk mengabdi pada kemanusiaan. Keikhlasan dan dedikasi itu mewarnai hampir semua karya
Bagong, menyerupai tari Layang-layang (1954), tari Satria Tangguh, dan Kebangkitan dan Kelahiran Isa Almasih (1968), juga Bedaya Gendeng (1980-an). Pada 5 Maret 1958, ia mendirikan Pusat Pelatihan
Tari Bagong Kusudiardjo. Sejak itu banyak penari bermunculan. Setelah sekian usang berpraktek menari dan melaksanakan observasi, Bagong akhirnya tetapkan untuk mendirikan padepokan seni di bidang tari, ketoprak, karawitan, dan sinden pada tanggal 2 Oktober 1978.
1. Bagong Kussudiardjo
Koreografer dan pelukis kenamaan yang digelari begawan seni ini lahir di Yogyakarta, 9 Oktober 1928. Dalam dunia tari Indonesia, sempat muncul aliran ‘Bagongisme’, yang merujuk pada huruf tarian-tarian khas Bagong. Sebagai pencipta tari dan koreografer, Bagong bisa melahirkan dan membawakan tari-tarian dengan gerak-gerak yang dimanis, energik, dan hidup.
Selain energik, Bagong juga mendasarkan estetika seni tarinya pada keikhlasan untuk mengabdi pada kemanusiaan. Keikhlasan dan dedikasi itu mewarnai hampir semua karya
Bagong, menyerupai tari Layang-layang (1954), tari Satria Tangguh, dan Kebangkitan dan Kelahiran Isa Almasih (1968), juga Bedaya Gendeng (1980-an). Pada 5 Maret 1958, ia mendirikan Pusat Pelatihan
Tari Bagong Kusudiardjo. Sejak itu banyak penari bermunculan. Setelah sekian usang berpraktek menari dan melaksanakan observasi, Bagong akhirnya tetapkan untuk mendirikan padepokan seni di bidang tari, ketoprak, karawitan, dan sinden pada tanggal 2 Oktober 1978.
Selama hidupnya, Bagong menciptakan lebih dari 200 tari dalam bentuk tunggal atau massal. Romo Gong (sapaan bersahabat dari Bagong Kusudiarjo) telah mencipta lebih 200 tari dalam bentuk tunggal atau massal. Beberapa karya lainnya yang dihasilkan yakni tari Batik, Keris, Reog, dan Yapong.
2. Sujana Arja
Menari bagi Sujana Arja merupakan pekerjaan pokok dan hidupnya. Ketika cukup umur (pada tahun 1940an), ia sering ikut bersama grup kesenian pimpinan Ayahnya untuk “ngamen” (dalam istilah Cirebon, disebut bebarang). Ia sering ikut keliling kampung berhari-hari, bahkan berbulan-bulan untuk menari topeng dari rumah ke rumah. Pengalaman ngamen selama bertahun-tahun kini bagi SujanaArja merupakan pengalaman yang sangat berharga. Sekarang, ia adalah pimpinan grup kesenian Panji Asmara yang masih ada hingga sekarang. Ia terampil menari, menabuh, mendalang, dan melatihkan semua talenta dan keahlian yang ia miliki. Sujana Arja merupakan sosok seniman topeng (maestro topeng) Cirebon yang serba terampil. Usahanya untuk memperkenalkan seni budaya Indonesia dimulai semenjak ngamen di lorong-lorong kampung hingga pertunjukan panggung bergengsi internasional. (seni tari Allien Waritunnisa)
Menari bagi Sujana Arja merupakan pekerjaan pokok dan hidupnya. Ketika cukup umur (pada tahun 1940an), ia sering ikut bersama grup kesenian pimpinan Ayahnya untuk “ngamen” (dalam istilah Cirebon, disebut bebarang). Ia sering ikut keliling kampung berhari-hari, bahkan berbulan-bulan untuk menari topeng dari rumah ke rumah. Pengalaman ngamen selama bertahun-tahun kini bagi SujanaArja merupakan pengalaman yang sangat berharga. Sekarang, ia adalah pimpinan grup kesenian Panji Asmara yang masih ada hingga sekarang. Ia terampil menari, menabuh, mendalang, dan melatihkan semua talenta dan keahlian yang ia miliki. Sujana Arja merupakan sosok seniman topeng (maestro topeng) Cirebon yang serba terampil. Usahanya untuk memperkenalkan seni budaya Indonesia dimulai semenjak ngamen di lorong-lorong kampung hingga pertunjukan panggung bergengsi internasional. (seni tari Allien Waritunnisa)
3. Sasminta Mardawa
Sasminta Mardawa atau bersahabat dipanggil Romo Sas, lahir di Yogyakarta, 9 April 1929. Ia digelari sebagai empu seni tari klasik gaya Yogyakarta. Dia menghadirkan nuansa tersendiri dalam dunia tari klasik Indonesia, khususnya dalam pengembangan tari klasik gaya Yogyakarta. Seniman ini punya andil mengakibatkan tari klasik Jawa digemari oleh masyarakat nasional dan dunia, pada era modern kala keduapuluhsatu ini. Dia seniman yang konsekuen pada jalur dedikasi sosial budaya secara utuh.
Romo Sas yakni penari, guru, sekaligus koreografer telah melahirkan banyak seniman tari. Dia telah membuat lebih dari 100 gubahan tari-tarian klasik, gaya Yogyakarta, baik tari tunggal untuk putra dan putri, maupun tari berpasangan dan tari fragmen. Di antara karya-karya tarinya yang sangat digemari yakni tari Golek, Beksan, Srimpi, dan Bedhaya. Meskipun tidak mempunyai ijzah sarjana, beliau telah dipercaya menjadi dosen tamu di sebuah perguruan tinggi tinggi di Amerika Serikat. Romo Sas juga pernah tampil di Malaysia, Filipina, Jepang, Amerika, dan Eropa. Penghargaan pun mengalir sebagai bukti legalisasi atas karya-karyanya. Di antaranya Hadiah Seni dari Gubernur DIY tahun 1983, hadiah seni dari Mendikbud RI tahun 1985, dan Certifiate of Apprecition dari Lembaga Kebudayaan Amerika tahun 1987.
Sasminta Mardawa atau bersahabat dipanggil Romo Sas, lahir di Yogyakarta, 9 April 1929. Ia digelari sebagai empu seni tari klasik gaya Yogyakarta. Dia menghadirkan nuansa tersendiri dalam dunia tari klasik Indonesia, khususnya dalam pengembangan tari klasik gaya Yogyakarta. Seniman ini punya andil mengakibatkan tari klasik Jawa digemari oleh masyarakat nasional dan dunia, pada era modern kala keduapuluhsatu ini. Dia seniman yang konsekuen pada jalur dedikasi sosial budaya secara utuh.
Romo Sas yakni penari, guru, sekaligus koreografer telah melahirkan banyak seniman tari. Dia telah membuat lebih dari 100 gubahan tari-tarian klasik, gaya Yogyakarta, baik tari tunggal untuk putra dan putri, maupun tari berpasangan dan tari fragmen. Di antara karya-karya tarinya yang sangat digemari yakni tari Golek, Beksan, Srimpi, dan Bedhaya. Meskipun tidak mempunyai ijzah sarjana, beliau telah dipercaya menjadi dosen tamu di sebuah perguruan tinggi tinggi di Amerika Serikat. Romo Sas juga pernah tampil di Malaysia, Filipina, Jepang, Amerika, dan Eropa. Penghargaan pun mengalir sebagai bukti legalisasi atas karya-karyanya. Di antaranya Hadiah Seni dari Gubernur DIY tahun 1983, hadiah seni dari Mendikbud RI tahun 1985, dan Certifiate of Apprecition dari Lembaga Kebudayaan Amerika tahun 1987.
4. Didik Nini Thowok
Didik Nini Thowok terlahir dengan nama Kwee Tjoen Lian. Namun, lalu orangtuanya mengubah namanya menjadi Kwee Tjoen An. Ia lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 13 November 1954.
Didik Nini Thowok terlahir dengan nama Kwee Tjoen Lian. Namun, lalu orangtuanya mengubah namanya menjadi Kwee Tjoen An. Ia lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 13 November 1954.
Didik dikenal sebagai penari, koreografer, komedian, pemain pantomim, penyanyi, dan pengajar. Koreografi tari ciptaan Didik yang pertama dibentuk pada pertengahan tahun 1971, diberi judul “Tari Persembahan”, yang merupakan gabungan gerak tari Bali dan Jawa. Didik tampil kali pertama sebagai penari wanita, berkebaya, dan bersanggul dikala program kelulusan Sekolah Menengan Atas tahun 1972 membawakan tari Persembahan yang ditarikan dengan luwes dan memukau. Setelah menyandang gelar SST (Sarjana Seni Tari), Didik ditawari almamaternya, ASTI Yogyakarta untuk mengabdi sebagai staf pengajar. Selain diangkat menjadi
dosen di ASTI, ia juga diminta jadi pengajar Tata Rias di Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) Yogya.
dosen di ASTI, ia juga diminta jadi pengajar Tata Rias di Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) Yogya.
5. Tjetje Sumatri
Tjetje yang lahir dengan nama Rd. Roesdi Somantri Diputra meniti kariernya sebagai penari tayuban di pendopo kabupaten. Kemahiran ini dikuasai berkat ketekunannya mempelajari banyak sekali jenis tari dan bahkan pencak silat. Masa jayanya mencapai puncak, ketika ia memimpin perkumpulan Rinenggasari (1958- 1965). Sampai tahun 1963, ia menyumbang sekitar 44 karya tari, walaupun sumbersumber penataan tari ciptaannya banyak bersumber dari guru tari lainnya. Penerima tanda penghargaan Piagam Wijya Kusumah (1961) itu mengabdikan diri pada seni tari Sunda hingga final hayatnya. Ia meninggal tahun 1963, ketika masih mengajarkan tari Patih
Ronggana sebagai salah satu ciptaannya. Sebagian karya yang dihasilkan Tjetje
Sumantri yakni tari Koncaran, Anjasmara, Sulintang, Pamindo, tari Merak, tari Kukupu, tari Tenun, tari Dewi Serang, tari Kandagan, dan tari Topeng Koncaran.
Tjetje yang lahir dengan nama Rd. Roesdi Somantri Diputra meniti kariernya sebagai penari tayuban di pendopo kabupaten. Kemahiran ini dikuasai berkat ketekunannya mempelajari banyak sekali jenis tari dan bahkan pencak silat. Masa jayanya mencapai puncak, ketika ia memimpin perkumpulan Rinenggasari (1958- 1965). Sampai tahun 1963, ia menyumbang sekitar 44 karya tari, walaupun sumbersumber penataan tari ciptaannya banyak bersumber dari guru tari lainnya. Penerima tanda penghargaan Piagam Wijya Kusumah (1961) itu mengabdikan diri pada seni tari Sunda hingga final hayatnya. Ia meninggal tahun 1963, ketika masih mengajarkan tari Patih
Ronggana sebagai salah satu ciptaannya. Sebagian karya yang dihasilkan Tjetje
Sumantri yakni tari Koncaran, Anjasmara, Sulintang, Pamindo, tari Merak, tari Kukupu, tari Tenun, tari Dewi Serang, tari Kandagan, dan tari Topeng Koncaran.
Advertisement
Baca juga:
Advertisement
EmoticonEmoticon