1. Masa Kecil Nabi Muhammad SAW
Muhammad menjadi anak yatim alasannya ialah ayahnya, Abdullah, meninggal dunia sebelum dia lahir.
Kelahiran Muhammad sangat menggembirakan kakeknya, Abdul Muthalib bin Hasyim yang eksklusif membawanya ke Kakbah. Bayi itu dinamainya dengan nama yang tidak lazim pada waktu itu di kalangan masyarakat Arab, yaitu Muhammad atau Ahmad. Muhammad tidaklah disusukan oleh ibunya, tetapi diserahkan kepada wanita dusun. Hal itu telah menjadi kebiasaan bangsa Quraisy. Ia disusukan pada Halimatus Sa’diyah (Halimah). Di dusun Halimahlah, Muhammad dibesarkan bersama anak-anaknya. Seperti halnya saudara-saudara sesusunya Muhammad turut menggembala domba. Kira-kira empat tahun lamanya, ia dalam asuhan Halimah.
Ketika sedang berjalan-jalan dengan ibu angkatnya, ia bertemu dengan orang-orang Yahudi. Mereka terkejut demi mengetahui siapa namanya, lalu menanyakan siapa ayah bundanya. Untunglah dengan petunjuk Allah, Halimah mengaku bahwa ia ialah anaknya sendiri dengan suaminya, sampai hilanglah kecurigaan mereka kalau-kalau ia seorang yatim piatu, sebagai salah satu tanda dari nabi yang terakhir. Karena banyaknya insiden yang asing tersebut, Halimah merasa cemas. Meskipun sangat mengasihi anak angkatnya itu, namun ia terpaksa mengembalikan kepada ibunya, Aminah.
Akan tetapi, hanya dua tahun Muhammad mencicipi kasih sayang ibunya itu. Karena ketika ia meningkat usia enam tahun, Aminah wafat. Aminah wafat di Abwa, suatu kawasan antara kota Mekah dan Madinah, sesudah berziarah ke makam suaminya di Madinah. Aminah pun dimakamkan di sana.
Sepeninggal Aminah, Muhammad diasuh oleh Abdul Muthallib. Kakeknya ini amat sayang alasannya ialah tingkah lakunya yang baik dan sopan dalam pergaulan. Akan tetapi, gres dua tahun dalam asuhannya, Abdul Muthallib wafat, yaitu ketika Muhammad meningkat usia delapan tahun.
Muhammad menjadi anak yatim alasannya ialah ayahnya, Abdullah, meninggal dunia sebelum dia lahir.
Kelahiran Muhammad sangat menggembirakan kakeknya, Abdul Muthalib bin Hasyim yang eksklusif membawanya ke Kakbah. Bayi itu dinamainya dengan nama yang tidak lazim pada waktu itu di kalangan masyarakat Arab, yaitu Muhammad atau Ahmad. Muhammad tidaklah disusukan oleh ibunya, tetapi diserahkan kepada wanita dusun. Hal itu telah menjadi kebiasaan bangsa Quraisy. Ia disusukan pada Halimatus Sa’diyah (Halimah). Di dusun Halimahlah, Muhammad dibesarkan bersama anak-anaknya. Seperti halnya saudara-saudara sesusunya Muhammad turut menggembala domba. Kira-kira empat tahun lamanya, ia dalam asuhan Halimah.
Ketika sedang berjalan-jalan dengan ibu angkatnya, ia bertemu dengan orang-orang Yahudi. Mereka terkejut demi mengetahui siapa namanya, lalu menanyakan siapa ayah bundanya. Untunglah dengan petunjuk Allah, Halimah mengaku bahwa ia ialah anaknya sendiri dengan suaminya, sampai hilanglah kecurigaan mereka kalau-kalau ia seorang yatim piatu, sebagai salah satu tanda dari nabi yang terakhir. Karena banyaknya insiden yang asing tersebut, Halimah merasa cemas. Meskipun sangat mengasihi anak angkatnya itu, namun ia terpaksa mengembalikan kepada ibunya, Aminah.
Akan tetapi, hanya dua tahun Muhammad mencicipi kasih sayang ibunya itu. Karena ketika ia meningkat usia enam tahun, Aminah wafat. Aminah wafat di Abwa, suatu kawasan antara kota Mekah dan Madinah, sesudah berziarah ke makam suaminya di Madinah. Aminah pun dimakamkan di sana.
Sepeninggal Aminah, Muhammad diasuh oleh Abdul Muthallib. Kakeknya ini amat sayang alasannya ialah tingkah lakunya yang baik dan sopan dalam pergaulan. Akan tetapi, gres dua tahun dalam asuhannya, Abdul Muthallib wafat, yaitu ketika Muhammad meningkat usia delapan tahun.
2. Masa Remaja Nabi Muhammad SAW
Sebagian besar, orang beropini bahwa kehidupan masa remaja adalah saat-saat yang paling indah dan mengasyikkan. Pada masa ini, penuh dengan hal-hal yang menggairahkan. Hal ini biasanya diperoleh dengan dukungan banyak sekali aspek, mulai dari kasih sayang orang bau tanah dan keluarga, tersedianya kemudahan sebagai pendukung berkembangnya aktivitas, dan adanya perhatian dari lawan jenis. Kondisi menyerupai itu tidak pernah dirasakan secara leluasa oleh Muhammad. Beliau merasa masa-masa indah itu hanya milik orang lain.
Sebelum Abdul Muthallib meninggal dunia, dia berwasiat agar sepeninggalnya, Muhammad hendaklah dipelihara dan diasuh oleh Abu Talib, yaitu abang dari Abdullah.
Keberadaan Abu Talib bin Abdul Muthallib tidaklah berlebihan sehingga hal ini turut memperlihatkan corak kehidupan yang dijalani Muhammad sehari-hari. Selain tidak sempat mengecap pendidikan yang memadai, dia juga harus menikmati kehidupan sederhana. Kegiatan sehari-harinya menggembala biribiri dan sering mengikuti kafilah berdagang ke banyak sekali kota. Dalam usia 12 tahun, dia telah berani mengiringi serombongan kafilah untuk berdagang.
Dalam perjalanan melewati Bushra, mereka bertemu dengan seorang pendeta Nasrani berjulukan Bahaira. Berdasarkan riwayat yang didengarnya dari Abu Talib, pendeta itu merasa yakin bahwa anak inilah yang akan menjadi Nabi akhir zaman sebagai apa yang dijanjikan di dalam kitab-kitab suci. Abu Talib disarankan untuk segera pulang dan menjaga anaknya baik-baik, terutama dari kejahatan orang Yahudi. Abu Talib segera pulang sesudah mengetahui bahwa keponakannya itu akan menjadi orang penting di kemudian hari.
Muhammad remaja populer sebagai seorang anak muda yang berbudi, ramah tamah, dan banyak memiliki teman. Teman-teman menyegani dan mempercayainya sampai menggelarinya Al-Amin, artinya yang jujur atau yang benar. Ia tidak suka minum khamar atau tuak, bermain judi, dan lain-lain yang menjadi kegemaran orang-orang Quraisy. Apalagi menyembah dan memuja berhala serta mengikuti dogma bangsa Arab. Sebaliknya, ia suka menolong dan membantu orang-orang yang dalam kesusahan, contohnya fakir miskin yang butuh makanan dan musafir-musafiryang tersesat dalam perjalanan.
Sebagian besar, orang beropini bahwa kehidupan masa remaja adalah saat-saat yang paling indah dan mengasyikkan. Pada masa ini, penuh dengan hal-hal yang menggairahkan. Hal ini biasanya diperoleh dengan dukungan banyak sekali aspek, mulai dari kasih sayang orang bau tanah dan keluarga, tersedianya kemudahan sebagai pendukung berkembangnya aktivitas, dan adanya perhatian dari lawan jenis. Kondisi menyerupai itu tidak pernah dirasakan secara leluasa oleh Muhammad. Beliau merasa masa-masa indah itu hanya milik orang lain.
Sebelum Abdul Muthallib meninggal dunia, dia berwasiat agar sepeninggalnya, Muhammad hendaklah dipelihara dan diasuh oleh Abu Talib, yaitu abang dari Abdullah.
Keberadaan Abu Talib bin Abdul Muthallib tidaklah berlebihan sehingga hal ini turut memperlihatkan corak kehidupan yang dijalani Muhammad sehari-hari. Selain tidak sempat mengecap pendidikan yang memadai, dia juga harus menikmati kehidupan sederhana. Kegiatan sehari-harinya menggembala biribiri dan sering mengikuti kafilah berdagang ke banyak sekali kota. Dalam usia 12 tahun, dia telah berani mengiringi serombongan kafilah untuk berdagang.
Dalam perjalanan melewati Bushra, mereka bertemu dengan seorang pendeta Nasrani berjulukan Bahaira. Berdasarkan riwayat yang didengarnya dari Abu Talib, pendeta itu merasa yakin bahwa anak inilah yang akan menjadi Nabi akhir zaman sebagai apa yang dijanjikan di dalam kitab-kitab suci. Abu Talib disarankan untuk segera pulang dan menjaga anaknya baik-baik, terutama dari kejahatan orang Yahudi. Abu Talib segera pulang sesudah mengetahui bahwa keponakannya itu akan menjadi orang penting di kemudian hari.
Muhammad remaja populer sebagai seorang anak muda yang berbudi, ramah tamah, dan banyak memiliki teman. Teman-teman menyegani dan mempercayainya sampai menggelarinya Al-Amin, artinya yang jujur atau yang benar. Ia tidak suka minum khamar atau tuak, bermain judi, dan lain-lain yang menjadi kegemaran orang-orang Quraisy. Apalagi menyembah dan memuja berhala serta mengikuti dogma bangsa Arab. Sebaliknya, ia suka menolong dan membantu orang-orang yang dalam kesusahan, contohnya fakir miskin yang butuh makanan dan musafir-musafiryang tersesat dalam perjalanan.
3. Masa Dewasa Nabi Muhammad SAW
Setelah dewasa, Muhammad mencari penghidupannya dengan berniaga. Modalnya diperoleh dari Khadijah binti Khuwailid, seorang janda kaya yang menaruh dogma kepadanya.
Dalam usia 24 tahun, ia pergi berdagang ke Syria dengan ditemani oleh bujang Khadijah, Maisara. Perdagangannya itu memperoleh laba besar. Dalam perniagaan, mereka bertemu dengan seorang pendeta Kristen berjulukan Jurjis, yang meramalkan kenabian Muhammad. Dipesankannya kepada Maisara biar menjaga tuannya dengan hati-hati, terutama terhadap golongan Yahudi.
Hubungan dagang yang baik antara Muhammad dan Khadijah ini, begitu pula laporan perjalanannya ke Syria dan pertemuannya dengan Jurjis, mengakibatkan Khadijah menaruh minat kepada Muhammad. Hal itu mendapat sambutan selayaknya dan alhasil mereka pun menikah. Usia Muhammad ketika itu 25 tahun, sedangkan Khadijah telah berusia 40 tahun.
Sewaktu Muhammad berusia 35 tahun, terjadi perselisihan di antara orang-orang Quraisy. Ketika memperbaiki Kakbah dan hendak meletakkan Hajar Aswad di tempatnya semula, mereka berebutan hendak melaksanakannya. Masing-masing suku menganggap bahwa sukunyalah yang lebih berhak. Perselisihan ini hampir saja berlarut-larut dan hampir menimbulkan, perang saudara. Untunglah atas ajakan dari seorang pemuka, Muhammad diangkat sebagai hakim. Dengan bijaksana, Muhammad pun berhasil mengatasi kesulitan itu. Dihamparkannya sorbannya, kemudian ditaruhnya Hajar Aswad di atasnya, kemudian kepala suku masing-masing memegang pinggirnya. Kemudian, secara bersama watu itu diangkat dan alhasil ditaruh oleh Muhammad ke kawasan semula. Demikianlah sengketa itu sanggup diatasi, dan kepercayaan Quraisy kepada Muhammad pun kian bertambah besar.
Setelah dewasa, Muhammad mencari penghidupannya dengan berniaga. Modalnya diperoleh dari Khadijah binti Khuwailid, seorang janda kaya yang menaruh dogma kepadanya.
Dalam usia 24 tahun, ia pergi berdagang ke Syria dengan ditemani oleh bujang Khadijah, Maisara. Perdagangannya itu memperoleh laba besar. Dalam perniagaan, mereka bertemu dengan seorang pendeta Kristen berjulukan Jurjis, yang meramalkan kenabian Muhammad. Dipesankannya kepada Maisara biar menjaga tuannya dengan hati-hati, terutama terhadap golongan Yahudi.
Hubungan dagang yang baik antara Muhammad dan Khadijah ini, begitu pula laporan perjalanannya ke Syria dan pertemuannya dengan Jurjis, mengakibatkan Khadijah menaruh minat kepada Muhammad. Hal itu mendapat sambutan selayaknya dan alhasil mereka pun menikah. Usia Muhammad ketika itu 25 tahun, sedangkan Khadijah telah berusia 40 tahun.
Sewaktu Muhammad berusia 35 tahun, terjadi perselisihan di antara orang-orang Quraisy. Ketika memperbaiki Kakbah dan hendak meletakkan Hajar Aswad di tempatnya semula, mereka berebutan hendak melaksanakannya. Masing-masing suku menganggap bahwa sukunyalah yang lebih berhak. Perselisihan ini hampir saja berlarut-larut dan hampir menimbulkan, perang saudara. Untunglah atas ajakan dari seorang pemuka, Muhammad diangkat sebagai hakim. Dengan bijaksana, Muhammad pun berhasil mengatasi kesulitan itu. Dihamparkannya sorbannya, kemudian ditaruhnya Hajar Aswad di atasnya, kemudian kepala suku masing-masing memegang pinggirnya. Kemudian, secara bersama watu itu diangkat dan alhasil ditaruh oleh Muhammad ke kawasan semula. Demikianlah sengketa itu sanggup diatasi, dan kepercayaan Quraisy kepada Muhammad pun kian bertambah besar.
Advertisement
Baca juga:
Advertisement
EmoticonEmoticon