Showing posts sorted by relevance for query perlawanan-untung-suropati-mataram. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query perlawanan-untung-suropati-mataram. Sort by date Show all posts

Nih Perlawanan Untung Suropati-Mataram Islam(1686–1706)

       Untung Suropati, demikianlah nama pejuang pada masa Mataram di bawah pemerintahan Amangkurat II. Sikap benci Untung kepada VOC telah muncul semenjak di Batavia. Untung lalu melarikan diri ke Cirebon
dan terjadi perkelahian dengan Suropati maka namanya menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan ke Kartasura.Amangkurat II sesudah menjadi raja mencicipi betapa beratnya perjanjian yang telah ditandatangani dan berusaha untuk melepaskan diri. Ketika Untung Suropati tiba di Kartasura disambut dengan baik. Pada tahun 1686 tiba utusan dari Batavia di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud merundingkan soal hutang Amangkurat II dan menangkap Untung Suropati.
       Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran. Kapten Tack beserta pengikutnya berhasil dihancurkan oleh pasukan Untung Suropati. Untung Suropati lalu melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur dan sampailah ke Pasuruan Di sinilah risikonya Untung mendirikan istana dan mengangkat dirinya sebagai bupati dengan gelar Adipati Wironagoro. Di Bangil didirikan perbentengan. Bupati-bupati seluruh Jawa Timur mendukungnya, dengan demikian kedudukannya makin kuat. Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, digantikan oleh putranya Sunan Mas dengan gelar Sultan Amangkurat III yang anti kepada Belanda. Pamannya Pangeran Puger (adik Amangkurat II) berambisi ingin menjadi raja di Mataram dan pergi ke Semarang untuk mendapat dukungan dari VOC. Selanjutnya, VOC berserta Pangeran Puger menyerang Kartasuradan berhasil diduduki. Amangkurat III melarikan diri ke Jawa Timur bergabung dengan Untung Suropati. Pada tahun 1704 Pangeran Puger dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono I.
      Pihak Belanda menyiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menggempur pasukan Untung di Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam pertempuran di Bangil, Untung terluka dan risikonya gugur pada tanggal 12 Oktober 1706. Sunan Mas sanggup tertangkap dan lalu dibuang ke Sailan/Sri Langka (1708).
       Pada tahun 1719 Sunan Paku Buwono I wafat dan digantikan oleh Amangkurat IV (Sunan Prabu) di bawah mandat VOC. Makin eratnya korelasi denganVOC menciptakan para darah biru benci kepada kompeni.
Mereka mengadakan perlawanan, antara lain Pangeran Purboyo (adik Sunan) dan Pangeran Mangkunegoro (putra Sunan sendiri). Perlawanan terhadap Kompeni sanggup dipadamkan dan para pemimpinya ditangkap dan dibuang ke Sailan dan Afrika Selatan, kecuali Pangeran Mangkunegoro
yang diampuni ayahnya.
       Pada masa pemerintahan Paku Buwono II (1727–1749) Mataram diguncang lagi perlawanan yang dipimpin oleh Mas Garendi (cucu Sunan Mas). Perlawanan ini di dukung oleh orang-orang Tionghoa yang gagal
mengadakan pemberontakan terhadap VOC di Batavia. Mas Garendi berhasil menduduki ibu kota Kartasura. Paku Buwono II melarikan diri ke Ponorogo. VOC meminta bantuan kepada Bupati Madura, Cakraningrat untuk merebut kembali Kartasura dengan imbalan impian Cakraningrat untuk melepaskan diri dari Mataram akan dikabulkan. Cakraningrat berhasil merebut kembali Kartasura dan Paku Buwono II berhasil kembali ke Kartasura sebagai raja. Namun, antara VOC dan Cakraningrat terjadi perselisihan alasannya yaitu Cakraningrat keberatan meninggalkan Kartasura. Perselisihan berakhir dengan ditangkapnya dan di buang ke Afrika Selatan (1745).
       Setelah beberapa kali terjadi perlawanan di Kartasura, Kartasura dianggap tidak layak sebagai ibu kota kerajaan sehingga sentra pemerintahan dipindahkan ke Surakarta. Makin bercokolnya VOC di Mataram
menyebabkan pada masa Paku Buwono II ini juga terjadi perlawanan lagi di bawah pimpinan Raden Mas Said (putra Pangeran Mangkunegoro) dan menduduki Sukowati. Oleh Paku Buwono II dikeluarkan semacam
sayembara, siapa yang sanggup merebut kawasan Sukowati akan mendapat kawasan itu sebagai imbalannya. Pangeran Mangkubumi, adik Paku Buwono II berhasil merebut Sukowati, tetapi ternyata kawasan itu tidak diberikan. Pangeran Mangkubumi meninggalkan kota dan bergabung dengan Raden Mas Said melaksanakan perlawanan.

(bse sejarah Dwi Ari Lestiani) 
: Proses Masuk dan Berkembangnya Agama serta Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia

Nih Kerajaan Mataram Islam (Sejarah Mataram Islam)

       Pada tahun 1578 Ki Ageng Pamanahan diberi tanah di Plered oleh Jaka Tingkir lantaran jasa-jasa terhadap Pajang. Wilayah inilah yang kelak dijadikan ibukota Mataram oleh anak Ki Ageng yang
bernama Panembahan Senopati (Senapati).
       Setelah Hadiwijaya wafat, segera Senopati menguasai Pajang pada tahun 1582. Pada tahun itu juga ia mengumumkan berdirinya kerajaan gres di Jawa Tengah, Mataram. Senopati yaitu anak angkat sekaligus menantu Hadiwijaya. Bersama pamannya, Ki Juru Mertani, Senopati menaklukkan Demak, Kadiri, Madiun, Kedu, Bagelen, Surabaya, dan Pasuruan. Setelah menaklukkan Kediri, Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601. Tahta kemudian beralih ke puteranya, Mas Jolang. Setelah menjadi raja, ia bergelar Sultan Hanyokrowati. Ia meneruskan usaha ayahnya, namun tidak lama. Sewaktu pulang dari pertempuran, pada tahun 1613 Mas Jolang wafat di Desa Krapyak, Jawa Timur. Itulah sebabnya Mas Jolang dikenal sebagai Panembahan Seda ing Krapyak. Mas Jolang digantikan oleh Raden Rangsang, puteranya, yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Pada masa Sultan Agung, Mataram berhasil menaklukkan Surabaya dan Blambangan sampai kekuasaan Mataram mencakup sebagian Jawa
Barat (kecuali Banten dan Batavia), seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping Jawa, Mataram pun menguasai Madura, Sukadana di Kalimantan Barat, serta Palembang.
       Pada tahun 1613-1645, Sultan Agung membawa Mataram ke masa kejayaannya. Pada masa Sultan Agung, Mataram menghadapi dua lawan yang besar, yaitu pasukan Kerajaan Banten dan tentara VOC di Jayakarta (Batavia) yang bercita-cita memonopoli perdagangan. Mataram pernah dua kali melakukan serangan ke benteng VOC di Jayakarta, yaitu pada 1628 dan 1629. Kedua serangan itu gagal lantaran kekurangsiapan logistik tentara selama pertempuran.
       Setelah Sultan Agung wafat tahun 1646, tahta Mataram diduduki Susuhunan Amangkurat I. Ia memindahkan pusat kerajaan ke Plered setahun berikutnya. Berbeda dengan ayahnya, Amangkurat I bersikap lunak dan cenderung berkompromi dengan VOC. Ia mengizinkan serikat dagang Belanda itu
mendirikan benteng di Mataram. Karena tidak oke atas kebijakan Amangkurat I dan kesewenangan VOC, meletuslah pemberontakan Pangeran Trunojoyo (Trunajaya). Pada 1667, pasukan Trunojoyo menyerang istana Plered. Pemberontakan itu berhasil dipadamkan dengan sumbangan VOC, meski Amangkurat
terluka dan wafat.
       Amangkurat I kemudian digantikan oleh anaknya, Amangkurat II. Amangkurat II memerintah dari tahun 1667 sampai 1703. Semasa pemerintahan Amangkurat II, Mataram mengalami kemunduran. Daerah-daearah kekuasaannya banyak yang dikuasai VOC. Bahkan sentra pemerintahan Mataram terpaksa pindah ke Kartasura. Yang menjadi Sultan selanjutnya yaitu Amangkurat III. Pada tahun 1704, Pangeran Puger, paman Amangkurat III, didaulat oleh VOC sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Tak bahagia atas pengangkatan pamannya ini, Amangkurat III bekerja sama dengan Untung Surapati, melawan VOC dan melakukan serangan gerilya.
Karena persenjataan yang tak seimbang, akhirnya Amangkurat III harus mengakui kemenangan VOC pada tahun 1708. Pada tahun 1719, Paku Buwono I meninggal dunia dan
digantikan oleh Amangkurat IV. Amangkurat IV hanya memerintah selama 7 tahun. Pada tahun 1726 ia wafat, digantikan oleh Paku Buwono II.
       Pada masa Paku Buwono ini, terjadi kekisruhan yang dilakukan Sunan Kuning, cucu Amangkurat III. Sunan Kuning menyimpan dendam terhadap keturunan Paku Buwono. Istana Kartasura direbut oleh Sunan Kuning pada tahun 1742. Namun, setahun kemudian istana Kartasura sanggup direbut kembali oleh
pasukan Cakra Ningrat IV, raja Madura, yang berafiliasi dengan VOC. Sunan Kuning pun menyerah, dan Paku Buwono II diangkat kembali menjadi sultan. Tahun 1746, Paku Buwono II memindahkan sentra pemerintahan ke istana gres di Plered. Perubahan besar terjadi di Mataram pada tahun 1755. Atas campur tangan VOC, Mataram dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta di Solo. Pemisahan daerah ini tercatat dalam Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini berawal dari kekecewaan Pangeran Mangkubumi kepada Paku Buwono II yang sebelumnya berjanji memperlihatkan hadiah tanah beserta 3.000
warga kepada Mangkubumi atas keberhasilannya memadamkan sebuah pemberontakan. Namun, Paku Buwono II mengingkari janjinya. Malah sebuah tempat pesisir diserahkannya kepada VOC. Mangkubumi menganggap Paku Buwono II melanggar etika dan sopan-santun Jawa. Paku Buwono II dinilai tidak
bermusyawarah dulu dengannya menyangkut keputusan sepihak tersebut. Merasa tersinggung, Mangkubumi kemudian bergabung bersama Raden Mas Said untuk melancarkan pemberontakan kepada Mataram pada Mei 1746. Pemberontakan ini berlangsung cukup lama. Mas Said pun mendapat gelar baru, Pangeran Samber Nyawa, lantaran ia sangat lihai dalam mematahkan perlawanan lawan.
       Baru, pada tahun 1755 pemberontakan berakhir, sehabis Paku Buwono II meninggal dunia dan Perjanjian Giyanti dibuat. Atas persetujuan VOC, Kesultanan Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat) diperintah oleh Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I. Sementara, Kasunanan Surakarta diperintah oleh Susuhunan Paku Buwono III, anak Paku Buwono II. Sementara itu, Mas Said merasa diliciki oleh Hamengku Buwono I yang seolah-olah lupa akan bantuannya dulu ketika memerangi Paku Buwono II. Oleh lantaran itu, pemberontakan pun meletus untuk kedua kalinya di Jawa Tengah. Kali ini pasukan Mas Said harus berhadapan dengan tiga kekuatan, yaitu pasukan Yogyakarta, Surakarta, serta VOC. Namun, berkat
kelihaian seni administrasi Mas Said, pasukan adonan tersebut tak mampu mengalahkannya. Mas Said bahkan berhasil memperabukan istana gres di Yogyakarta, setahun sehabis Perjanjian Giyanti.
       Namun, lantaran jumlah pasukan yang tak seimbang, laskar Mas Said pun kewalahan. Akhirnya, ia rela berunding dan menyerahkan diri kepada Paku Buwono II tahun 1757. Melalui Perjanjian Salatiga, Kasunanan Surakarta dibagi lagi menjadi dua wilayah, yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara. Pangeran Samber Nyawa kemudian mengucapkan ikrar setia kepada Surakarta, Yogyakarta, dan VOC. Sebagai imbalannya, ia diberikan tanah berikut 4.000 orang warga. Ia pun menjadi adipati di wilayah Mangkunegaran dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunegara.
       Pada Desember 1810, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman William Daendels, bersama 3.200 pasukannya memaksa Hamengku Buwono II turun sebagai sultan Yogyakarta. Kemudian, Daendels mengangkat puteranya, Hamengku Buwono III menjadi sultan. Namun, gres menjadi sultan setahun,
Hindia Belanda (Indonesia) dikuasai Inggris sebagai tanggapan dari penaklukan Belanda oleh Inggris.
Melihat kesempatan ini, Hamengku Buwono II mengambil alih kekuasaan kembali dari anaknya. Namun, pada Juni 1812 sekitar 1.200 prajurit Ingris yang dibantu prajurit Sepoy dari India dan 800 prajurit dari Legiun Mangkunegaran, berhasil merebut istana Yogyakarta. Perpustakaan, arsip, dan sejumlah besar uang
Kasultanan Yogyakarta habis dirampas pihak lawan. Hamengku Buwono II pun, sekali lagi, turun tahta, dan dibuang ke Penang, Malaysia. Anaknya, Hamengku Buwono III naik tahta kembali. 

       Adapun Pangeran Natakusuma, yang membantu Inggris dalam perang tersebut, diberi tanah merdeka serta 4.000 warga di Yogyakarta. Natakusuma kemudian bergelar Pangeran Pakualam I dan memerintah di Kasunanan Pakualam di Yogyakarta. Selama itu, otomatis yang menciptakan kebijakan di istana Yogyakarta,
Surakarta, dan Mangkunegaran yaitu Belanda. Baru pada bulan September 1945, Sultan Hamengku Buwono menyatakan kepada pemerintahan Soekarno-Hatta bahwa Kasultanan Yogyakarta termasuk belahan dari Republik Indonesia. Langkah ini diikuti oleh istana Surakarta.

(bse sejarah Triyono)

Perlawanan Untung Suropati-Mataram Islam(1686–1706)