Perkembangan Rancangan Kriya

Share:

PERKEMBANGAN KONSEP KRIYA

jelaskan fungsi dari karya kerajinan tekstil tradisional indonesia PERKEMBANGAN KONSEP KRIYA
PERKEMBANGAN KONSEP KRIYA

jelaskan fungsi dari karya kerajinan tekstil tradisional indonesia - B. Muria Zuhdi
Abstract
The term kriya , which refers to the art utilizing the materials of crafts Like basket weaving , pottery , etc. , can be discussed not only in the context of past art works (referring particularly , in this case , to the classical or traditional works of this art) but also in the context of those that look new and different from the ones from the past. For that reason , this reference to time - past and present - is the point of departure in this article. A reference to time contains a historic aspect. What is meant in this writing is none other than the movement based on the intention of creating art works which are new in character but using as their sources the traditional arts of Indonesia. This is the movement that has eventually given birth to or revived the aforementioned term for the art concerned here , has at the same time distinguished present from past works of this art , and has as simultaneously distinguished those works of art from mere handicrafts.

Key Word: kriya

A. Pendahuluan
Seni kriya merupakan satu cabang atau ranting seni yang sedang mengalami transformasi - baik bentuk maupun fungsinya sehingga sering menjadi percakapan atau diskusi panjang , berkenaan dengan status dan kedudukannya dalam pekembangan seni rupa di Indonesia (Soedarso Sp. , 1990: 1 ). Inovasi dalam kriya sedang terus berlangsung , hal ini utamanya dilaksanakan oleh kriyawan-kriyawan muda atau calon-calon kriyawan yang punya gairah dalam menggali dan menyebarkan kriya yang mempunyai potensi dalam banyak bidang garapan. Sebagai misal: kriya kayu , kriya keramik , dan kriya tekstil (dalam hal ini khususnya batik). Dari ketiga bidang tersebut bisa meningkat sekaligus dalam tiga arah yang masing-masing mempunyai kepentingan berbeda. Tiga arah yang dimaksud ialah: 1) arah yang berorientasi pelestarian , 2) arah yang berorientasi pada pengembangan guna kepentingan ekonomi atau kepentingan komersial [`industri' kerajinan (-kriya)] , 3) arah yang berorientasi pada kepentingan verbal pribadi (prestasi kesenimanan).
Istilah kriya relatif belum usang dipakai dalam bahasa Indonesia sehingga banyak membuat pertanyaan dan kebingungan , tetapi sekaligus - ternyata membuat kelatahan dalam memakai perumpamaan itu. Hal ini dimungkinkan lantaran pengguna perumpamaan kurang atau belum mengetahui secara terperinci mengenai maknanya. Istilah kriya ini sering diidentikkan dengan kerajinan , tetapi banyak pula yang mengatikan berlainan sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Sebagai praktisi seni (seniman) barangkali tidak penting mempermasalahkan perumpamaan kriya , tetapi selaku akademisi hal itu teramat penting untuk dibicarakan , lantaran suatu perumpamaan yakni simbol yang dipakai untuk menggambarkan makna secara keseluruhan yang melingkupinya.

B. Perbedaan antara Kriya dan Kerajinan Masa Lampau
Masyarakat Jawa dalam sejarahnya mempunyai dualisme budaya. Dualisme yang dimaksud adalah:
1.    Budaya Agung dalam tradisi besar meningkat dalam lingkungan tembok kraton , di kelompok darah biru atau golongan elit penduduk feodal agraris.
2.    Budaya Alit dalam tradisi kecil meningkat di luar tembok kraton , di kelompok penduduk pedesaan atau kawula alit.
Dari kedua tradisi ini sanggup ditentukan adanya garis pemisah yang membelah antara keduanya menyangkut gaya hidup dengan tata aturannya. Keterbelahan itu bukan berarti kontradiksi , melainkan berupa pola keharmonisan dan keseimbangan yang menjadi kewajiban antara yang memimpin dan yang dipimpin , selaku suatu kewajaran dalam budaya Jawa menyerupai yang tersirat dalam konsep kekerabatan kawula gusti dan kawula alit (Kuntowijoyo , 1987: 68-72).
Dari dalam tembok kraton dimengerti perumpamaan kriya. Praktik kriya ditujukan untuk buatan artefak fungsional , serimonial , dan spiritual , menjujung nilai-nilai simbolis kedudukan istana yang menjadi sentra pemerintahan tanah Jawa. Seniman kriya di masa kemudian mempunyai kedudukan yang tinggi dengan gelar empu. Hasil karya para empu ini pada jadinya melahirkan seni klasik Jawa yang dianggap mempunyai nilai tinggi (adiluhung) (Asmujo , 2000: 260). Adapun buatan artefak pada penduduk kecil di luar lingkungan tembok keraton oleh Gustami Sp. (1991: 99-100) disebut selaku kerajinan , menyerupai pembuat cangkul , golok , cobek , besek dan lain-lain , yang dalam pembuatannya lebih mementingkan sisi kegunaan atau kemudahan saja. Dari kedua hal yang dikemukakan ini , kiranya sanggup dijadikan pembanding , bahwa ada perbedaan antara kriya dengan kerajinan.
Adanya perbedaan hirarkis antara buatan artefak di istana dan kehidupan rakyat bawah merupakan realita sejarah. Tetapi , cukup mencurigai mengenai penggunaan perumpamaan “kerajinan” di masa kemudian , mengingat perumpamaan tersebut gres terkenal dipergunakan sehabis masa kemerdekaan dan tidak hadir dalam khazanah bahasa Jawa lama. Istilah kerajinan sepertinya masih perlu dikaji. Sejak kapan perumpamaan itu digunakan. Dan , apakah benar untuk menamai hasil-hasil pekerjaan tangan pada periode yang sezaman dengan hadirnya perumpamaan kriya memakai perumpamaan kerajinan. Jawaban untuk ini kiranya membutuhkan kajian yang dalam.
Berikut ini merupakan salah satu upaya untuk mendekati dilema (kelahiran) perumpamaan kerajinan , mudah-mudahan sanggup memperlihatkan kejelasan yang mencukupi bagi keberadaannya. Istilah kerajinan lahir dan terangkat ke permukaan sebenarnya ditandai dengan adanya perubahan yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda , yakni sejak bergesernya nilai-nilai kehidupan penduduk dan perubahan nilai budaya bangsa yang menyeret eksistensi kriya menjadi pecahan dari kegiatan ekonomi , sehingga eksistensi kriya dikesampingkan dari kepentingan adat dan kepercayaan. Kenyataan ini dibuktikan dengan hadirnya “perusahaan-perusahaan seni” yang dimungkinkan salah satunya berencana untuk mengakali adanya ekspresi dominan perburuan benda benda seni budaya pada waktu itu.
Perkataan “perusahaan seni” dalam bahasa Belanda kunstnijverheid. Sangat boleh jadi , kunstnijverheid inilah asal mula perumpamaan kerajinan , masalahnya musuh kemalasan itu kebetulan saja ijver (hampir menyerupai nijver!) alias kerajinan. Kaprikornus , aktivitas yang namanya nijverheid itu dianggap kerajinan saja.  Dan , barang hasil kegiatan ini yakni kerajinan (Sudjoko , 1991: 5).
Melalui informasi di atas , sanggup ditarik kesimpulan bahwa hadirnya perumpamaan kerajinan berafiliasi dengn kegiatan buatan dan/atau reproduksi benda benda seni yang kegiatannya itu berlandaskan kepentingan ekonomi-komersial. Kaprikornus , simpulan lebih lanjut sanggup dikemukakan bahwa: kriya berlainan dengan kerajinan , utamanya menyangkut motivasi yang melatarbelakangi pengerjaan karya-karyanya.

C. Latar Belakang Munculnya Kembali Istilah Kriya
Keberadaan kriya dalam masa lalu sudah memberi andil yang hebat dalam menyanggupi keperluan artistik insan pada zamannya. Karya-karya yang dihadirkan kemudian menjadi pecahan dari objek kajian alasannya sudah menjadi benda seni budaya-di dalam melacak peradaban yang melingkupinya. Tetapi , bagaimana dengan eksistensi kriya di masa sekarang , balasan untuk itu kiranya mesti diawali dengan rnengungkapkan latar belakang hadirnya kembali perumpamaan kriya beserta karya-karyanya yang terlihat gres berlainan dengan karya-karya kriya masa lampau.
Istilah kriya yang dimunculkan kembali oleh STSRI ”ASRI” (sekarang ISI) Yogyakarta , dimaksudkan untuk mewadahi derasnya kreasi dan inovasi dalam berkarya seni; di samping usaha-usaha. yang berencana untuk melestarikan warisan seni budaya (seni kriya) masa lampau. Berkaitan dengan perumpamaan kriya , Soedarso Sp. (1990: 2) mengutip kamus selaku berikut:
Perkataan “kriya” memang belum usang dipakai dalam bahasa Indonesia; kata itu berasal dari bahasa Sanskerta yang dalam kamus Wojowasito diberi arti; pekerjaan; perbuatan; ... dan dalam kamus renta Winter diartikan selaku damel , membuat.

Lebih jauh Soedarso Sp. (1990: 2) juga mengatakan:

Pada waktu Jurusan Seni Kriya lahir di ASRI Yogyakarta pada tahun 1950 , perumpamaan tersebut belum dipakai dan Jurusan ini diberi nama Bagian Seni Pertukangan. Pernah pula Seni Kerajinan dipakai untuk menamai jurusan ini , tetapi lantaran baik Seni Pertukangan maupun Seni Kerajinan dianggap tidak mewakili dan mempunyai konotasi yang menyesatkan maka jurusan tersebut diberi nama Seni Kriya. Bagaimanapun ketiga nama tadi senantiasa dibarengi kata "Seni" yang sering digugat orang pada tempatnyakah rangkaian kata-kata itu; Seni Kriya , Seni Kerajinan , Seni Pertukangan?

Gugatan wacana kata-kata ”seni” sebagaimana yang diungkapkan di atas , dimungkinkan akhir sikap pendewaan verbal dari cabang-cabang seni yang lain pada waktu itu , yang menyejajarkan diri dengan seni rupa Barat. Sebagaimana yang sudah dimengerti oleh penduduk seni rupa (khususnya di perguruan tinggi) bahwa konsep-konsep seni rupa Barat pada biasanya mengemukakan pola pikir secara gugus yakni yang mencakup art (seni rupa) biasanya cuma painting dan sclupture saja (Sudjoko , 1991: 6).
Perkembangan terakhir , Jurusan Seni Kriya (yang dalam waktu relatif singkat sempat berubah nama menjadi Disain Kriya) diubah namanya menjadi Jurusan Kriya (tanpa kata seni) , sehabis STSRI "ASRI" , AMI , dan ASTI Yogyakarta bergabung menjadi satu , ISI Yogyakarta.. Sesuai habitatnya (nuansa psikologis yang ekpresif yang ada di ISI Yogyakarta , maka semangat kesenimanan menjadi lebih kukuh dan menjadi jiwa di dalam kekriyaannya. Hal itu tercermin di dalam sikap inovatif inovatif pewujudan karya-karya yang dihasilkan oleh Jurusan Kriya dalam institusi forum pendidikan tinggi ISI Yogyakarta khususnya. .
D. Perkembangan Kriya
Kebudayaan terbaru yang ditandai dengan gerakan industrialisasi di segala bidang tidak terbantah lagi kehadirannya memikul nilai-nilai gres dan melahirkan pranata gres bagi penduduk pendukungnya. Modernisasi dengan efek logisnya memperlihatkan perubahan pola dan sikap yang sudah usang kukuh pada tradisi yang mapan. Perubahan nilai-nilai ini pada akhimya ikut pula menyeleksi arah kemajuan kesenian khususnya kriya.

1. Pelestarian Seni Kriya
Pelestarian dimaksud merupakan menjaga eksistensi seni kriya masa lalu dalam bentuk teoritis maupun gampang , dengan cara menyerap wawasan seni kriya yang tersebar di banyak sekali wilayah , lewat studi pustaka dan/atau studi lapangan ke wilayah yang menjadi sumber kajian , sedangkan dalam bentuk praktisnya biasa dilaksanakan dalam bentuk praktik dasar guna penguasaan teknik pengerjaan karya-karya seni kriya masa lampau. Dengan demikian , pada tahapan selanjutnya para kandidat kriyawan dapat menjadi pelestari seni kriya masa lampau.
Penyerapan wawasan dan keahlian teknis masa lalu itu tentunya tidak segalanya dilaksanakan oleh para kandidat kriyawan , melainkan mengarah pada penyeleksian bidang masing-masing yang mereka minati , mengingat bahwa kriya itu mempunyai banyak bidang yang menjadi lahan garapan. Kelanjutan dari tahapan itu para kandidat kriyawan diperlukan bisa menyebarkan seni kriya dalam kekriyaanya.

2. Pengembangan Seni Kriya
Pengembangan ini mempunyai dua mata arah yang berlainan yaitu: pengembangan dalam bentuk penciptaan benda-benda fungsional (baik fungsional gampang maupun fungsional nonpraktis) dan pengembangan berupa penciptaan karya-karya kriya-ekspresi.

a. Pengembangan Seni Kriya dalam Penciptaan Benda-benda Fungsional
Penciptaan benda-benda fungsional gampang berencana bikin karya-karya fungsional yang mempunyai bobot seni yang menyatu pada karya yang dihasilkan. Oleh lantaran itu , dalam penciptaan karya , kendala ornamentasi bukan cuma sekedar tempelan , melainkan membutuhkan kreativitas di dalam mengompromikan antara kesanggupan ornamentasi yang tinggi dan kreasi bentuk yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip disain fungsional yang comfortable. Pengembangan ini terarah pada pemanfatan seni-seni pernak-pernik primitif , tradisional , dari klasik (dengan tidak mengesampingkan landasan filosofisnya) , dimasak dan dihadirkan secara serasi atau artistik dalam wujud keseluruhannya.
Adapun mengenai penciptaan benda-benda fungsional nonpraktis pada pada dasarnya sama dengan penciptaan benda-benda fungsional gampang , cuma saja yang satu memakai pertimbangan-pertimbangan kegunaan eksklusif secara fisik , sedang yang satu lagi memakai pertimbangan-pertimbangan yang lain sesuai dengan pengertiannya.

b. Pengembangan Seni Kriya dalam Penciptaan Karya-karya kriya-ekspresi
Seiring dengan kemajuan zaman ternyata hasrat seni insan ikut meningkat pula. Jika pada masa lalu insan bikin karya-karya seni kriya yang didasari oleh keahlian seni untuk tujuan tertentu , maka insan kini pun berencana bikin karya-karya seni yang cocok dengan semangat zamannya yakni seni yang berdiri sendiri dengan tujuan untuk kepuasan pribadi. Motivasi inilah yang melatarbelakangi arah pengembangan dan kemajuan seni kriya dalam mendatangkan karya-karya kriya-ekspresi. Pengembangan dalam bidang ini mempunyai keleluasaan atau keleluasaan sejalan dengan kesanggupan yang inovatif inovatif dan kekuatan atau kedalaman verbal dari masing-masing (calon) kriyawan. Adapun mengenai media yang dipakai pada biasanya jatuh pada opsi materi yang biasanya sudah dimengerti , sepanjang ada kesesuaian dengan teknik yang dikuasai atau disukai. Karya-karya kriya yang berorientasi pada prestasi kesenimanan kehadirannya sanggup disaksikan lewat pameran-pameran yang sering digelar. Untuk menamai karya-karya kriya yang lepas dari sisi fungsi alias karya-karya seni murni ini disebut dengan karya kriya seni yang perumpamaan ini secara nyata dimunculkan pada ekspo kesenian Yogyakarta III (FKY III , tepatnya pada tahun 1991.

3. Pengembangan Kerajinan ( Kriya)
Pada obrolan terdahulu sudah dikemukakan bahwa hadirnya perumpamaan kerajinan dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi komersial. Oleh lantaran itu , produk-produk kerajinan ini tidak lebih merupakan pemenuh keperluan pasar.
Di masa kemudian (pada masa penjajahan Belanda) , kegiatan seni yang berorientasi pada kepentingan ekonomi banyak menjalankan reproduksi benda-benda seni kriya (lampau). Oleh lantaran itu , kegiatan itu tidak lebih merupakan kegiatan imitatif. Akan tetapi , tidak tertutup kemungkinan dalam kegiatan reproduksi itu dilaksanakan juga usaha-usaha memodifikasi atau variasi dalam produknya.
Di masa pembangunan kini nilai ekonomi kian berperan , maka kerajinan dipandang selaku aset yang menguntungkan untuk dikembangkan. Dengan kata lain , kerajinan dipandang mempunyai potensi ekonomi dalam jual beli internasional dan dunia pariwisata. Oleh lantaran itu , kegiatan kerajinan ini digalakkan dan diperlukan bisa mengembangkan devisa negara , sekaligus sanggup memperluas lapangan kerja dan sanggup mengembangkan pendapatan serta kemakmuran pengrajinnya. Pengembangan dalam bidang kerajinan ini berupa penciptaan disain-disain gres dengan muatan warna etnik gambaran seni ke-Indonesia-an , tetapi dengan pertimbangan selera pasar.

E. Konsep Kriya pada Saat Ini
Kriya dalam konteks masa lalu dimaknai selaku suatu karya seni yang unik dan karakteristik yang di dalamnya terkandung muatan nilai estetik , simbolik , filosofis , dan fungsional serta grawit dalam pembuatannya (Gustami Sp. , 1992: 71). Adapun kriya dalam konteks masa sekarang memperlihatkan pemahaman yang berlainan dari pemaknaan kriya masa lampau. Perbedaan ini lahir lantaran adanya perbedaan motivasi yang melatarbelakangi lahirnya kembali perumpamaan kriya. Berkenaan dengan itu sanggup dikutipkan persepsi Asmujo (2000: 262) selaku berikut:
Bisa diasumsikan bahwa perumpamaan “kriya” mengalami transformasi pemahaman , mengingat pemahaman art juga mengalami transformasi. Pengertian yang cukup jauh dari pengertiannya yang lama. Istilah art dalam bahasa Inggris merupakan turunan dari perumpamaan art dalam bahasa Latin yang mempunyai pemahaman sama dengan techne dalam bahasa Yunani , artinya kurang lebih sama dengan Pengertian craft atau skill ketika ini dalam bahasa Inggris.

Transformasi pemahaman kriya yakni suatu hal yang perlu disikapi dengan masuk akal , lantaran suatu perumpamaan pada waktu yang berlainan , tempat yang berlainan , dan konteks yang berlainan maknanya bisa berlainan. Hal itu sering terjadi dan diterima selaku sesuatu yang “wajar”. Persoalan yang mungkin timbul terletak pada kemauan sikap (keberterimaan) membangun konvensi lewat kesepahaman para pihak yang berkompeten pada dunia seni (rupa).
Adalah suatu realita bahwa pada ketika ini kriya masih menjadi ajang perebutan untuk dimasukkan pada wilayah seni atau disain. Berkaitan dengan itu , Nugroho (1999: 4) menyampaikan selaku berikut:
Bidang ilmu kriya , kalau diurai dari akar keilmuannya , masih terus menjadi perdebatan sengit di antara kelompok praktisi dan akademisi dibidang seni rupa. Bidang kriya sudah menjadi ajang perebutan antara masuk ke dalam disiplin ilmu seni atau ilmu desain.

Sesungguhnya kriiya berada dan meliputi kedua disiplin ilmu tadi , seni , dan rancangan , sehingga memungkinkan timbul dua perumpamaan seperti: kriya seni dan kriya disain , atau seni kriya dan disain kriya. Pada kenyataannya kriya mempunyai kelonggaran yang tinggi; berada pada posisi di antara wilayah seni dan disain: Kondisi ini menyadarkan kita bahwa semestinya tidak ada definisi yang kaku dalam pengelompokan kriya , lantaran hal itu tergantung di wilayah mana secara esensial kriya itu sendiri beraktivitas (Nugroho , 1999: 5).
Sebagaimana dimengerti penciptaan karya-karya kriya masa lalu dimotivasi antara lain oleh kepentingan ritual magis dan simbol status patrimonial. Sedang kriya masa sekarang (khususnya untuk pendidikan tinggi di Yogyakarta) dimotivasi oleh prestasi kesenimanan. Akibat dari perbedaan itu , maka kekriyaan masa lalu dan kekriyaan masa sekarang melahirkan perbedaan pula dalam wujud hasil-hasil karyanya.
Kriya masa sekarang melahirkan karya-karya seni yang sanggup digolongkan ke dalam dua klasifikasi , yakni karya-karya seni fungsional mencakup dalam seni terapan dan karya-karya seni kriya yang pembuatannya lepas dari sisi fungsi mencakup dalam klasifikasi seni murni. Akan tetapi , kedua-duanya bertolak dari landasan yang serupa yakni pemanfatan unsur-unsur tradisi dalam penciptaan karya-karyanya.
Kekriyaan masa sekarang yang berorientasi pada prestasi kesenimanan , dalam bentuk karya fungsional sudah banyak dibuktikan dengan datangnya karya-karya yang inovatif inovatif dan khas dari masing-masing pribadi penciptanya. Sedangkan dalam bentuk karya seni murni (kriya seni/kriya-ekspresi) dibuktikan dengan datangnya karya-karya seni yang mempunyai kedalaman nilai seni yang tercermin dari masing-masing karya yang dihasilkan. Boleh dibilang pengerjaan karyakarya kriya itu merupakan cermin dari segenap kesanggupan kriyawan , lantaran esensi dari pengerjaan karya-karyanya merupakan pertaruhan nama di dalam menjaga prestise kesenimanan. Terkait dengan pernyataan ini Hastanto (2000: 2) menyampaikan bahwa:

Kelahiran kriya seni atau kriya kekinian merupakan salah satu ratifikasi seni kriya selaku cabang seni rupa sebagaimana halnya dengan cabang seni rupa yang lain , serta memperlihatkan apresiasi terhadap penduduk untuk mendapatkan kriya seni selaku proses inovatif dan perumpamaan verbal estetik dalam bentuk yang khas dari kriyawan.

Istilah kriya seni pada ketika kemunculannya (1991) sesungguhnya dipahami selaku perumpamaan untuk menamai karya-karya kriya yang pembuatannya lepas dari sisi fungsi. Dengan kata lain , karya-karya yang dinamai kriya seni yakni karya-karya yang dibentuk untuk kepentingan verbal dengan tujuan prestasi kesenimanan. Namun , dalam kemajuan selanjutnya perumpamaan ini pun tidak dipakai secara konsisten lantaran sering didapatkan karya-karya yang fungsional , walaupun bermuatan seni (ornamentasi) tinggi sering ditambahkan dalam pameran- pameran yang berlabel kriya seni. Berkaitan dengan itu , kiranya perlu adanya sikap konsisten dalam penggunaan perumpamaan mudah-mudahan kategorisasi (dalam batasan tertentu) sanggup dimengerti dengan terperinci dan termaknai sesuai dengan pemahaman yang dikandungnya.
Istilah kerajinan sebagaimana sudah diuraikan di depan , merupakan penamaan bagi benda-benda yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi-komersial. Para pembuatnya (baca: pekerja) disebut perajin atau pengrajin.
Pada kemajuan selanjutnya , perumpamaan kerajinan yang memakai label seni (berbunyi seni kerajinan) lebih sering terdengar di samping perumpamaan kerajinan itu sendiri. Adapun perumpamaan seni yang ditambahkan di depan perumpamaan kerajinan bisa ditentukan keberadaannya merupakan penjelas yang mensifati hasil-hasil bendanya , yang pada kenyataannya memang mengandung nilai seni.
Istilah kerajinan maupun perumpamaan seni kerajinan kini sudah banyak ditingggalkan. Dengan kata lain , perumpamaan kerajinan atau seni kerajinan mulai disingkirkan dan digantikan dengan perumpamaan kriya atau seni kriya. Kata kerajinan sesungguhnya membendakan kata sifat tekun yang diberi awalan ke dan akhiran an yang artinya musuh dari kemalasan. Kata kerajinari mengandung makna kegiatan (atau aktivitas) yang dilaksanakan berulang-ulang. Oleh lantaran itu , kata kerajinan dalam konteks kekriyaan sepertinya masih “halal” dipakai , apabila hendak membangun peristilahan dalam dunia kriya. Sesuai dengan sifat kata kerajinan , maka segala acara kriya yang berafiliasi dengan buatan atau reproduksi benda-benda kriya sanggup memakai perumpamaan kerajinan-kriya. Istilah lain yang juga sanggup dimunculkan merupakan “industri” kerajinan-kriya yang pada hakekatnya lebih mempertegas arah kegiatan produksinya (“skala besar”) yakni berencana menciptakan produk-produk sesuai selera pasar (sering-sering berupa pesanan) , dalam jumlah yang banyak atau sebanyak-banyaknya , dalam waktu-yang relatif singkat atau dengan target bersiklus dan sanggup secepatnya dimakan oleh pasar serta secepatnya mendatangkan keuntungan. Para pekerja dalam lingkup ini sanggup disebut perajin atau pengrajin sesuai acara yang motorik berulang-ulang yang jauh dari dilema kreativitas dan ekspresi.
Istilah kriya sendiri yakni perumpamaan yang lebar dan umum. Istilah itu merupakan induk besar dari kegiatan kekriyaan. Dari induk kriya ini kemudian timbul perumpamaan turunan (selain yang sudah disebutkan terdahulu) yaitu: kriya seni , kriya verbal , kriya disain , kriya produk , dan kriya kontemporer. Adapun pelaku kriya biasa disebut kriyawan , ekriya , seniman kriya , dan sebagainya.

F. Wacana Kriya dan Craft
Kriya sering diterjemahkan selaku craft atau handcraft. Padahal kriya berarti lebih ketimbang sekedar craft yang berarti kerajinan (tangan). Meskipun mempunyai kesamaan , tetapi “kriya” mempunyai dimensi lain yang dikaitkan dengan karya seni adiluhung. Kriya mesti dipandang selaku sesuatu yang khas lantaran meningkat dan dikembangan dari akar tradisi Indonesia. Kriya masa sekarang sanggup dibilang selaku kerja keras sambungan dari seni-seni tradisi yang dalam aktualisasinya mesti mengikuti kondisi dengan konstelasi zaman. Oleh lantaran itu , kriya kita tidak semena-mena sanggup sama sebangun pemaknaannya apabila diidentikkan dengan peristilahan craft yang bernuansa buatan massa dan konsumsi massa yang selama ini diyakini orang (Sunarya , 1999: 1).
Telah dikemukakan di depan bahwa kriya mempunyai banyak perumpamaan turunan yang pemaknaanya sering masih membingungkan lantaran kriya memang dalam proses meningkat dan dikembangkan. Kriya dengan gerak hidupnya yang luas/lebar dalam konteks masa sekarang pada dasarnya sanggup dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu; kriya seni dan kriya disain. Untuk kriya disain perkembangannya tidak banyak memperoleh kendala , sanggup diterirna begitu saja , dan hampir-hampir tanpa masalah. Lain halnya dengan kriya seni , keberadaannya seringkali masih saja dipersoalkan , bahkan dalam peluang tertentu sering menjadi materi perdebatan. Karya-karya kriya seni pada belakangan ini kehadirannya menampakkan wujud yang kental dengan muatan ekpresi , lantaran karya-karya yang dibentuk memang didasarkan pada kepentingan ekpresi. Keberadaan kriya-ekpresi ini sesungguhnya merupakan penyesuaian kriya terhadap keleluasaan zaman ketika ini yang memperlihatkan keleluasaan berekspresi secara perorangan sampai menembus pelataran seni “murni”. Kata-kata seni murni selama ini “dimonopoli” oleh cabang-cabang seni tertentu dan kriya dengan realita perkembangannya seolah-olah “diharamkan” untuk berseni murni. Kiranya perlu disadari bahwa kreativitas “murni” bukanlah kepunyaan perseorangan , golongan , atau kelompok tertentu , melainkan merupakan kepunyaan semua orang dan tidak sanggup dikekang oleh apa pun. Sesungguhnya yang menjadi dilema yakni substansi opsi yakni pada wilayah rnana seseorang , kelompok , atau institusi menjalankan acara kekriyaan dengan mengacu pada istilah-istilah turunan kriya yang sudah dikemukakan.
Sebagai pembanding dalam menyaksikan kemajuan kriya di Indonesia , sanggup dilihat negara tetangga , Australia. Kriya (craft) di negeri kangguru ini juga mengalami nasib yang nyaris sama dengan di Indonesia. Sejumlah gerakan gres yang menyebut revival of the craft berupaya memperlihatkan bahwa karya-karya kriya tidak lagi terikat pada tradisi pengerjaan benda-benda pakai dan lantaran itu bisa menjadi benda media ekpresi. Karya-karya dalam lingkup ini yang disebut contemporary craft , memperlihatkan ekpresi perorangan kendati masih memperlihatkan tradisi kriya , utamanya dalam mengolah material. Gerakan ini lazimnya mencari pembenaran dengan menunjuk realita bahwa kriya dalam tradisi non-Barat , mengandung.nilai-nilai (Supangkat dan Asmojo , 1998: 8).
Kriyawan kekinian yakni perupa yang masih mempunyai kekerabatan dengan tradisi. Namun , mereka tidak berkarya dalam bingkai seni tradisional walau tradisi sungguh mempengaruhi pemikiran mereka. Dalam batas minimal hal itu mengambarkan bahwa penciptaan karya-karya mereka masih memprioritaskan dan setia pada pengolahan material yang lazim dipakai dalam pengerjaan karya-karya kriya tradisional. Akan tetapi , karya-karya para kriyawan kekinian bukanlah karya-karya tradisional Indonesia (Supangkat dan Asmojo , 1998: 9).
Tidak disangkal bahwa ketika ini juga sudah berkembang kesadaran untuk menetralisir dikotomi art dan craft. Hal tersebut dalam konteks seni rupa terbaru memperlihatkan secara substansial tidak ada perbedaan antara pelukis , pematung , dan para artis-craftman yang sama-sama bikin karya ungkap bebas. Hanya saja , hegemoni dalam pemahaman keberpihakan masih menjadi beban sejarah yakni , pelukis dan pematung di Barat masuk dalam catatan sejarah utama (main-stream) seni rupa , tidak demikian halnya dengan para perupa yang dimengerti selaku craftsman.
Pada kemajuan canggih lingkup craft di Barat pada jadinya juga masuk ke dalam arena (modern) art , banyak forum pendidikan di Barat kini ini enggan menjaga dikotomi art dan craft. Hal ini trrutarna terjadi di Australia tempat paling panas bagi perdebatan antara craft dan art (Asmujo , 2000: 264). Hanya saja solusi yang dilaksanakan condong diambil gampangnya saja , yaitu: beberapa forum pendidikan menetralisir sebutan jurusan craft dan menempatkan pendidikan yang sebelumnya dimengerti selaku craft di bawah pecahan visual art. Apa yang berlaku di Australia tidak mesti persis sama yang berlaku di Indonesia. Terlalu sayang kalau bidang (program/jurusan) kriya dihilangkan dan menempatkan kriya menjadi pecahan dari bidang seni murni atau disain. Karena , tradisi yang berkembang di Australia atau Barat pada biasanya berlainan dengan yang berkembang di Indonesia. Kriya di Indonesia keberadaanya mesti diakui selaku salah satu pilar yang menyangga kehidupan kesenian yang dapat menberikan kemaslahatan banyak umat dalam banyak sisi , di antaranya yakni kriya sanggup dipandang dalam kerangka kepentingan ekonomi dan budaya. Dari sisi ekonomi eksistensi kriya tak terbantah sudah banyak menghidupi beribu-ribu atau bahkan berjuta jiwa dalam aktivitasnya yang diwadahi oleh kerajinan-kriya atau “industri” kerajinan-kriya. Dalam sisi budaya , kriya merupakan seni yang paling kaya dan subur yang sanggup dimanfaatkan dan dikontrol untuk kepentingan-kepentingan verbal perorangan maupun kolektif yang sanggup merefleksikan identitas seni rupa Indonsia. Oleh lantaran itu , kriya Indonesia mesti dibiarkan saja berkembang dan meningkat dengan menjalankan penyesuaian-penyesuain atas irama zaman dan mendapatkan hak hidupnya selaku “seni yang merdeka”.

G. Penutup
Istilah kriya mengalami transformasi pengertian. Kriya dalam konteks masa lalu dimaknai selaku suatu karya seni yang unik dan karakteristik yang di dalamnya terkandung muatan nilai estetik , simbolik , filosofis , dan fungsional serta ngrawit dalam pembuatannya. Adapun kriya dalam konteks masa sekarang mempunyai pemahaman yang berlainan yakni; suatu cabang seni yang aktivitasnya; (1) sanggup menciptakan produk fungsional dengan craftmansif yang tinggi untuk kepentingan ekonomi-komersial , dan (2) sanggup pula menciptakan karya-karya seni yang merupakan verbal perorangan untuk kepentingan prestise kesenimanan.
Pada kenyataanya kriya merupakan perumpamaan yang lebar dan lazim yang mempunyai banyak perumpamaan turunan yakni: Kriya Seni , Kriya-ekspresi , Disain Kriya , Kriya Disain , Kriya Produk , dan Kriya Kontemporer. Istilah-istilah tersebut pada hakikatnya sanggup dikelompokan kedalam dua klasifikasi yakni kriya rancangan dan kriya seni. Perbedaan fundamental dari kedua klasifikasi ini terletak pada motivasi dalam penciptaan karyanya. Hal ini sanggup diterangkan bahwa acara kriya disain senantiasa mempunyai problem dengan dilema penciptaan benda-benda fungsional untuk kepentingan ekonomi-komersial sedang kriya seni aktivitasnya mempunyai problem dengan penciptaan karya-karya seni (“murni”) untuk kepentingan ekspresi.
Istilah kerajinan maupun seni kerajinan sebaiknya tidak dipakai lagi untuk menamai suatu benda atau acara buatan benda-benda kriya , lantaran perumpamaan kerajinan tidak memadai/mewakili untuk penamaan kegiatan buatan benda-benda kriya. Demikian pula , halnya dengan perumpamaan seni kerajinan. Penambahan kata seni di depan kata kerajinan tidak memunculkan bentukan perumpamaan ini menjadi “benar” , malahan sebaliknya menjadi gila atau janggal. Hal ini sanggup dirunut dari bentukkan perumpamaan kerajinan itu sendiri , yakni berawal dari kata tekun yang diberi awalan ke dan akhiran an yang artinya musuh dari kemalasan. Agar perumpamaan yang dipakai untuk menamai acara buatan benda-benda kriya ini menjadi benar , maka perumpamaan kerajinan-kriya rasanya lebih sempurna dipakai , dan apabila acara buatan benda-benda kriya ini dilaksanakan secara “besar-besaran” , maka perumpamaan “industri” kerajinan-kriya sanggup dipakai , untuk mengambil alih perumpamaan industri (seni) kerajinan.
Pembicaraan mengenai kriya mesti sering dan banyak dilaksanakan mudah-mudahan pemahaman wacana kriya secara keseluruhannya , menyangkut kategorisasi-kategorisasi dalam kriya , menjadi terperinci dan gampang dimengerti , sehingga “peta” kriya sanggup terbaca dan sanggup dipahami utamanya untuk kepentingan ilmu seni dalam dunia pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Asmujo. 2000 “Dilema Pendidikan Kriya” dalam Refleksi Seni Rupa Indonesia: Dulu , Kini dan Esok. Penyunting Baranul Anas dkk. Jakarta: Balai Pustaka
Gustami Sp. 1991. “Seni Kriya Indonesia Dilema Pembinaan dan Pengembangan" , dalam SENI: Jurnal Pengetahuan dan Pencitaan Seni. 1/03 - Oktober 1991 , B.P ISI Yogyakarta.
__________ 1992. "Filosofi Seni Kriya Tradisional Indonesia" , dalam SENI: Jurnal Pengetahuan dan Pencitaan Seni. II/O 1 - Januari 1992 , B.P ISI Yogyakarta
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat , Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Nugroho , Adhi. 1999. "Kriya Indonesia , Sebuah Wilayah Sumber Ispirasi yang Tak Terbatas" dalam Konperensi Kriya "Tahun Kriya dan Rekayasa 1999". Institut Teknologi Bandung , 26 November 1999.
Soedarso Sp. 1990. "Pendidikan Seni Kriya" dalam pelatihan Kriya 1990 , oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta , 28-29 Mei 1990 di Hotel Ambarukmo Yogyakarta.
Hastanto , Sri. "Pengatar Direktur Nilai Estetika" dalam Katalog Pameran Kriya Seni 2000. di Galeri Nasional Indonesia Jakarta 9 - 15 November 2000
Sudjoko: 1991. “Dunia Seni Rupa” , dalam Seminar Nasional Pendidikan Seni Rupa dan Globalisasi Budaya , di UGM Yogyakarta oleh ISI Yogyakarta.
Sunarya ,Yan yan. 1999. “Redefinisi Kriya (=Craft?) Menjelang Abad ke-21” dalam Konperensi Kriya "Tahun Kriya dan Rekayasa 1999". Institut Teknologi Bandung , 26 November 1999.
Supangkat , Jim dan Asmujo. 1998. "Mengungkap Rupa Dekoratif , Makna yang Berlapis" dalam Catalogue Pameran Mengungkap Rupa Dekoratif Makna yang Berlapis.

Dengan adanya informasi yang kami hidangkan tentang  jelaskan fungsi dari karya kerajinan tekstil tradisional indonesia

, hasrat kami mudah-mudahan anda sanggup terbantu dan menjadi suatu rujukan anda. Atau juga anda dapat menyaksikan rujukan lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya wacana MATERI KELAS 8 

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.

buka mesin jahit : http://journal.uny.ac.id/index.php/imaji/article/view/142/47
Advertisement
Advertisement


EmoticonEmoticon