Pakaian Etika Sulawesi Utara Lengkap| Gambar Dan Penjelasannya - Seni Budayaku

Share:
Konten [Tampil]
Pakaian Adat Sulawesi Utara Lengkap , Gambar dan Penjelasannya - Pakaian moral berlainan dengan busana sehari-hari. Pakaian moral merupakan busana yang lazim dikenakan oleh suku bangsa atau penduduk sebuah kawasan dan merupakan ciri khas suku bangsa atau penduduk kawasan tersebut. Biasanya busana moral dikenakan pada waktu penyelenggaraan upacara-upacara moral atau pesta moral , misalnya upacara perkawinan atau penyambutan tamu agung. Pakaian moral untuk upacara di setiap kawasan suku bangsa di Provinsi Sulawesi Utara berbeda-beda. Hal ini disebabkan setiap suk bangsa memiliki keyakinan dan ritual moral yang berbeda-beda.

Pakaian Adat Bolaang Mongondow Sulawesi Utara

Pakaian Adat Bolaang Mongondow , Sulawersi utara sungguh dekat kaitannya dengan latar belakang kehidupan penduduk pada masa lalu. Struktur kehidupan penduduk yang bernuansa kerajaan pada waktu itu , melahirkan stratifikasi sosial yang tegas. Masyarakat terbagi atas beberapa lapisan sosial , mulai dari kalangan rakyat biasa hingga kaum ningrat yang menempati kedudukan paling tinggi dalam masyarakat. Oleh lantaran itu , tidaklah heran jikalau busana moral mereka relatif lebih banyak , lantaran setiap lapisan penduduk memiliki busana tersendiri.

Pakaian yang kebanyakan dipakai oleh kaum ningrat terlihat lebih beragam. Hal ini dikarenakan kehidupan kalangan ini lebih variatif. Pakaian moral lain yang dipakai kalangan di luar ningrat misalnya busana kohongian , yakni busana yang dikenakan kalangan status sosial satu tinggak di bawah kaum bangsawan. Pakaian ini dikenakan pada upacara perkawinan. Pakaian simpal , yakni busana yang khusus dipakai kalangan pendamping pemerintah dalam kerajaan. Sama halnya dengan busana kohongian , busana simpal pun dikenakan pada upacara perkawinan. Pakaian Kerja guha-heha , yakni busana kerja para pemangku moral yang dipakai pada ketika upacara-upacara kerajaan. Selain itu , ada juga busana rakyat biasa yang kadang kala terlihat pada ketika menjalankan panen padi. Pengaruh melayu begitu kental dan secara lazim dikuasai mewarnai busana moral tradisional kawasan Bolaang Mongondow.

Pada biasanya , busana kaum perempuan terdiri atas kain dan kebaya atau salu , sedangkan busana kaum prianya , termasuk ikat kepala atau mangilenso , baju atau baniang , celana dan sarung tenun. Pakaian moral yang dikenakan kaum ningrat atau kalangan penduduk yang lain terlihat serupa. Akan tetapi , ada belahan busana yang sanggup membedakan kedudukan seseorang. Perbedaan itu terletak pada detil busana , kelengkapan aksesoris yang melekat pada badan serta mutu materi yang digunakan.

Pakaian moral kaum ningrat tampil dengan satu gambaran tersendiri. Keberanian dalam menegaskan warna-warna yang terang dan menonjol seumpama merah , ungu , kuning , keemasan , dan hijau dipadu dengan aksesoris emas , serta mutu materi terbaik , tidak disangsikan lagi melahirkan satu sosok busana moral yang cukup indah dan menawan. Selain busana kebesaran seumpama itu , para ningrat pun memiliki busana kedukaan , yakni busana berwarna hitam yang dipakai pada waktu menghadiri upacara kematian. Untuk situasi seumpama ini , ada larangan untuk memakai banyak sekali perhiasan sejenis apapun.

gambar baju moral sulawesi utara
Sumber : Various sources from Search Google Image Indonesia.

Pakaian Adat Minahasa Sulawesi Utara

Pada upacara perkawinan , pengantin perempuan memakai busana yang terdiri atas baju kebaya warna putih dan kain sarung bersulam warna putih dengan sulaman motif sisik ikan. Model gaun pengantin perempuan ini dinamakan baju ikan duyung. Selain sarung yang bermotif ikan duyung , terdapat juga sarung motif sarang burung yang disebut versi salimburung , sarung motif kaki seribu yang disebut versi kaki seribu dan sarung motif bunga yang disebut laborci-laborci.

Aksesoris yang dipakai dalam gaun pengantin perempuan merupakan sanggul atau bentuk konde , mahkota (kronci) , kalung leher (kelana) , kalung mutiara (simban) , anting dan gelang. Konde yang memakai 9 bunga Manduru rutih disebut konde lumalundung , sedangkan konde yang memakai 5 tangkai kembang goyang disebut konde pinkan. Motif mahkota pun bermacam-macam , seumpama motif biasa , bintang , sayap burung cendrawasih dan ekor burung cendrawasih.

Pengantin lelaki memakai busana yang terdiri atas baju jas tertutup atau terbuka , celana panjang , selendang pinggang , dan topi (porong). Pakaian pengantin baju jas tertutup ini disebut busana tatutu. Baju tatutu ini berlengan panjang , tidak punya krah dan saku. Motif pada busana ini merupakan motif bunga padi , yang terdapat pada dekorasi topi , leher baju , selendang pinggang , dan kedua lengan baju.

Pakaian Tonaas Wangko merupakan baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi , potongan baju lurus , berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan dekorasi motif bunga padi berwarna kuning keemasan pada leher baju , ujung lengan dan sepanjang ujung baju belahan depan yang terbelah. Sebagai pelengkap baju dipakai topi berwarna merah yang dihias motif bunga padi warna keemasan pula.

Pakaian Walian Wangko lelaki merupakan adaptasi bentuk dari baju Tonaas Wangko , cuma saja lebih panjang seumpama jubah. Warna baju putih dengan dekorasi corak bunga padi. Dilengkapi topi porong nimiles , yang dibentuk dari lilitan dua buah kain berwarna hitam-merah dan kuning-emas , perlambang penyatuan dua unsur alam , yakni langit dan bumi , dunia dan alam baka. Sedangkan Walian Wangko perempuan , memakai baju kebaya panjang warna putih dan ungu , kain sarung batik warna gelap , dan topi mahkota (kronci). Potongan baju tanpa kerah leher dan sanggul. Hiasan yang dipakai merupakan motif bunga terompet.

Bentuk dan jenis busana Tonaas dan Walian Wangko inilah yang kemudian menjadi versi dari jenis-jenis busana moral Minahasa untuk banyak sekali kebutuhan upacara , bagi warga maupun aparatur pemerintah setempat. Jenis-jenis dan bentuk busana di atas merupakan kekayaan budaya Minahasa yang tak ternilai harganya.

Pakaian Adat Sangir-Talaud Sulawesi Utara

Nama busana tradisional Sagir-Talaud merupakan laku tepu ,yakni baju panjang yang lazim dikenakan perempuan atau pria. Perbedaannya cuma terletak pada ukuran panjang baju dan pasangannya. Untuk kaum perempuan panjangnya sanggup meraih betis , dengan epilog belahan bawahnya memakai kain sarung. Sementara itu , untuk kaum lelaki sanggup meraih telapak kaki atau cuma sebatas lutut , dengan celana panjang selaku epilog pada belahan bawahnya.

Laku tepu kebanyakan berwarna terang dan menonjol seumpama merah , ungu , kuning bau tanah , dan hijau tua. Baju jenis ini , pada zaman dulu yang dibikin dari kain kofo dengan dua materi baku terutama yakni serat manila hennep dan serat kulit kayu. Untuk mendapat warna yang diharapkan , sebelum dijahit dicelupkan ke dalam cairan air nira untuk warna merah misalnya , dan daun-daunan atau akar-akaran tertentu yang sanggup menciptakan warna biru , hijau , kuning , atau merah darah. Saat ini kain kofo digantikan dengan materi yang lain yang  sesuai untuk dibentuk baju panjang. Warna yang dipakai masih tetap mengacu pada tradisi sebelumnya , yakni warna terang dan mencolok.

Pakaian moral pengantin lelaki terdiri atas celana panjang dan laris tepu yang panjangnya hingga lutut atau telapak kaki. Di belahan kanan kiri baju terdapat belahan yang tingginya meraih pinggul , krah baju berupa lingkaran dan terbelah dibagian depannya , serta berlengan panjang. Kelengkapan pakaiannya termasuk kalung panjang atau soko u wanua , keris (sandang) yang diselipkan di pinggang sebelah kanan , ikat pinggang atau salikuku yang yang dibikin dari kain dengan simpul ikatan diposisikan di sebelah kiri pinggang , dan ikat kepala berupa segitiga. Khusus untuk ikat kepala , belahan yang menjulangnya ditaruh di bagin depan kepala. Adapun ujungnya ditaruh di belakang kepala.

Pakaian moral pengantin perempuan terdiri atas kain sarung lengkap dengan baju panjang atau laris tepu yang berlengan panjang , krah baju berupa lingkaran dan terbelah di tengah pada belahan belakangnya. Kelengkapan busana yang dipakai mempelai perempuan merupakan sepatu atau sendal , sunting (topo-topo) yang dipasang tegak lurus pada konde di atas kepala , gelang , anting-anting , kalung panjang bersusun tiga yang disebut soko u wanua , serta selendang (bawandang liku). Khusus untuk selendang , pemakaiannya disampirkan di pundak kanan melingkar ke kiri dengan salah satu ujungnya terurai hingga ke tanah , dan ujung satunya lagi sanggup dipegang. Saat ini , eksistensi kain sarung yang dikenakan untuk menutup belahan bawah , kerap diganti dengan rok panjang yang telah silipit (plooi).
Demikian pembahasan wacana "Pakaian Adat Sulawesi Utara Lengkap , Gambar dan Penjelasannya" yang sanggup kami sampaikan. Artikel ini dikutip dari buku "Selayang Pandang Sulawesi Utara : Ir. Nugroho Yuananto". postingan kebudayaan Indonesia menawan yang lain di situs .
Advertisement
Advertisement


EmoticonEmoticon