Nih Karya Sastra Angkatan 50 (1950) Dan Angkatan 1970 (Puisi Dan Prosa Angkatan 50 Dan 1970)

Share:
1. Sastra Periode Angkatan 50 (1950)
       Sesungguhnya ciri-ciri karya sastra Angkatan 45 dan Angkatan 50 sukar dibedakan. Angkatan 45 diteruskan oleh Angkatan 50.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra Angkatan 50.
a. Puisi Angkatan 50
a. Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi dongeng dan balada, dengan gaya yang lebih sederhana.
    Misalnya:
Puisi-puisi karya Rendra, menyerupai ”Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, ”Blues untuk Bonnie”, atau ”Nyanyian Angsa”.
b. Gaya ulangan mulai berkembang.
c. Ada citra suasana muram alasannya yakni menggambarkan hidup yang penuh penderitaan.
d. Mengungkapkan masalah-masalah sosial seperti, kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar, belum adanya pemerataan hidup.
    Contoh:
Jangan!
Jangan dibunuh para lintah darat
. . . .
Karena darah para bajak dan perompak
akan gampang mendidih oleh pelor
Mereka bukan tapir atau badak
hatinya pun berurusan cinta kasih
menyerupai jendela terbuka bagi angin sejuk
Dengan Kasih Sayang
W.S. Rendra, LP2IP, Yogyakarta, 2004
    Puisi tersebut menggambarkan permasalahan atau tema kemanusiaan. Penyair menyerukan biar lintah darat jangan dibunuh, tetapi diperlakukan yang manusiawi akan menjadi lunak hatinya. Lintah darat yakni orang-orang yang harus dimanusiakan.
b. Prosa Angkatan 50
a. Tidak terdapat sisipan dongeng sehingga alurnya padat.
b. Cerita perang mulai berkurang.
c. Menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari.
d. Kehidupan pedesaan dan kawasan mulai digarap.
e. Banyak mengemukakan pertentangan-pertentangan politik.


 B. Sastra Periode Angkatan 1970
       Dalam periode ini, mulai berkembang sastra pop dan novel pop.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra periode Angkatan 1970.
a. Puisi Angkatan 1970
a. Mempergunakan sarana kepuitisan yang khusus berupa frasa.
b. Mempergunakan teknik pengungkapan inspirasi secara sederhana,
dengan kalimat-kalimat biasa atau sederhana.
c. Mengemukakan kehidupan batin religius yang cenderung mistik.
d. Menuntut hak-hak asasi insan misalnya: kebebasan, hidup merdeka, bebas dari penindasan, menuntut kehidupan yang layak, dan bebas dari pencemaran kehidupan modern.
e. Mengemukakan kritik sosial atas kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah dan kritik atas penyelewengan.
    Contoh:
Jalan Segara
Di sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan
Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari
Dan pelor pembayar pajak
Negeri ini
Ditembuskan ke punggung
Anak-anaknya sendiri
Sumber: Taufiq Ismail, LP2I, Yogyakarta, 2004
    Puisi yang bernada sinis ini dilatarbelakangi oleh penembakan di Jalan Segara terhadap demonstran yang memprotes para pemimpin.
b. Prosa Angkatan 1970
a. Alur berbelit-belit.
b. Pusat pengisahan bermetode orang ketiga.
    Contoh:
. . . .
Pada satu saat, mitra kita tiba-tiba ingin berhenti, tak berlarilari
lagi, tak berteriak-teriak lagi, tak tersedu-sedu lagi. Dia duduk
di pinggir kaki lima.
. . . .
Dikutip dari: Ziarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976
     Dari kutipan tersebut sanggup dilihat bahwa novel Ziarah memakai sudut pandang orang ketiga. Penulis menyebut tokoh utama dengan sebutan ”dia”.
c. Mengeksploitasi kehidupan insan sebagai individu bukan sebagai makhluk komunal.
    Contoh:
. . . .
”Tiap langkahnya yakni ia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada dirinya sendiri.”
. . . .
Dikutip dari: Ziarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976
    Dari kutipan di depan sanggup dilihat bahwa penulis hanya mengeksploitasi insan sebagai makhluk individu yang hanya menghargai keberadaan dirinya sendiri. Hal ini sanggup dilihat dari kalimat pada dirinya sendiri.
d. Mengemukakan kehidupan yang tidak jelas.
e. Mengedepankan warna lokal (subkultur), latar belakang kebudayaan lokal.
f. Mengemukakan tuntutan atas hak-hak asasi insan untuk bebas dari kesewenang-wenangan, baik yang dilakukan oleh anggota masyarakat lain atau oleh pihak-pihak yang berkuasa.
Advertisement
Advertisement


EmoticonEmoticon