Nih Sastra Angkatan Pujangga Gres (1930) | Referensi Puisi Dan Prosa Angkatan Pujangga Baru

Share:
Pada periode Pujangga Baru, jenis sastra yang dihasilkan sebagian besar berupa puisi. Selain itu, karya sastra berjenis kisah pendek dan drama sudah mulai ditulis.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra periode Pujangga Baru.
Puisi Angkatan Pujangga Baru
a. Puisi berbentuk puisi baru, bukan pantun dan syair lagi.
b. Pilihan kata-kata diwarnai dengan kata-kata nan indah.
c. Bahasa kiasan utama ialah perbandingan.
d. Hubungan antarkalimat terperinci dan hampir tidak ada kata-kata yang ambigu.
e. Mengekspresikan perasaan, pelukisan alam yang indah, dan tenteram.
f. Persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama.
    Contoh:
Bahasa, Bangsa
Selagi kecil berusia muda,
Tidur si anak di pangkuan bunda
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang;
Berbuai sayang malam dan siang
Buaian tergantung di tanah moyang
Terlahir di bangsa, terbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu;
Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya, permai merdu.
. . . .
Muhammad Yamin dalam Tonggak Antologi Puisi Indonesia
Modern 1, Gramedia, 1987
Dari puisi ”Bahasa, Bangsa” sanggup diketahui bahwa puisi Angkatan Pujangga Baru bukan termasuk pantun atau syair lagi. Pilihan kata-katanya sangat indah dan diwujudkan dalam rima
yang sesuai. Puisi ”Bahasa, Bangsa” mengekspresikan perasaan rindu dan cinta kepada sang kekasih.
Pada puisi ”Bahasa, Bangsa” masih mempertahankan persajakan. Persajakan ini sanggup dilihat pada setiap baitnya.
    Contoh:
Merayap menangis bersuka raya
Dalam senang bala dan baya
Bernafas kita pemanjangan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Di mana Sumatra, di situ bangsa
Di mana Perca, di sana bahasa.


Prosa Angkatan Pujangga Baru
a. Alur lurus.
b. Teknik perwatakan tidak memakai analisis langsung. Deskripsi fisik sudah sedikit.
Contoh:
. . . .
”Aduh, indah benar.” Dan seraya melompat-lompat kecil
ditariknya tangan kakaknya, ”Lihat Ti, yang kecil itu, alangkah
manis mulutnya! Apa ditelannya itu? Nah, nah, ia bersembunyi
di celah karang.” Sekalian perkataan itu melancar dari mulutnya,
sebagai air memancar dari celah gunung. Tuti mendekat dan
melihat berdasarkan arah telunjuk Maria, ia pun berkata, ”Ya, bagus.”
Tetapi suaranya amat berlainan dari adiknya, tertahan berat.
. . . .
Dikutip dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana,
Balai Pustaka, Jakarta, 1989
Dari kutipan tersebut sanggup diketahui moral Maria yang gampang memuji dan moral Tuti yang tidak gampang kagum atau memuji. Watak Maria dan Tuti sanggup dilihat dari percakapan antara Maria dan Tuti.
c. Tidak banyak sisipan kisah sehingga alurnya menjadi lebih erat.
d. Pusat pengisahan memakai metode orang ketiga.
e. Gaya bahasa sudah tidak memakai perumpamaan, pepatah, dan peribahasa.
f. Masalah yang diangkat bukan lagi persoalan adat, melainkan persoalan kehidupan menyerupai persoalan emansipasi, pemilihan pekerjaan, dan persoalan individu manusia.
Contoh:
. . . .
Dalam sepi yang sesepi-sepinya itulah kedengaran bunyi Tuti
membelah. ”Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang
terhormat! Berbicara wacana perilaku perempuan gres sebahagian
besar ialah berbicara wacana impian bagaimanakah harusnya
kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang.
Janganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding wacana cita-cita
yang demikian semata-mata berarti berunding wacana anganangan
dan pelamunan yang tiada memiliki guna yang praktis
sedikit jua pun.”
. . . .
Dikutip dari: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana,
Balai Pustaka, Jakarta, 1989
Dari kutipan di atas sanggup diketahui bahwa salah satu persoalan yang ditampilkan yaitu persoalan emansipasi wanita.
g. Bersifat didaktis.
Advertisement
Advertisement


EmoticonEmoticon