Kesenian Tradisional Yogyakarta Lengkap| Gambar Dan Penjelasannya - Seni Budayaku

Share:
Konten [Tampil]
Yogyakarta atau "Jogja" ialah suatu kota kecil di sebelah selatan Pulau Jawa yang berpredikat kota pelajar. Selain menyandang predikat kota pelajar , Yogyakarta juga layak disebut selaku kota budaya alasannya yakni penduduk di kota ini masih sungguh menjunjung tinggi watak dan budaya yang mereka miliki. Berbagai ragam kesenian tradisional masih terus digelar dan dilestarikan oleh seniman-seniman di Provinsi Yogyakarta ini. Kesenian khas yogyakarta tidak cuma ditampilkan pada hari-hari tertentu saja. Namun , masih banyak kesenian-kesenian khas yang ditampilkan oleh penduduk Yogyakarta untuk menyemarakkan aneka macam upacara watak , mirip ijab kabul , khitanan , kelahiran , dan upacara watak lainnya.

Kesenian Tradisional Yogyakarta

Berikut ini beraneka ragam kesenian khas yogyakarta yang dipahami oleh penduduk Yogyakarta serta penjelasannya.

1. Wayang Kulit

Wayang kulit ialah kesenian tradisional yang sudah berusia ratusan tahun. Dalam pertunjukan wayang kulit , penonton sanggup menyaksikan dari arah depan atau dari arah belakang. Dari belakang , penonton akan menyaksikan bayang-bayang wayang dari dalam kelir (tirai kain putih untuk menangkap bayang-bayang wayang kulit). Bayang-bayang inilah yang mungkin menjadi cikal bakal lahirnya perumpamaan wayang yang memiliki arti bayang-bayang. Selain itu bayang-bayang ini ditafsirkan bahwa kisah dalam pewayangan merefleksikan bayang-bayang kehidupan insan di dunia.

Wayang kulit gaya Yogyakarta mempunyai performa fisik yang berlainan dengan wayang dari wilayah lain. Perbedaannya terletak pada beberapa hal; wayang gaya Yogyakarta terkesan dinamis atau terlihat bergerak , ditandai dengan performa posisi kaki yang melangkah lebar mirip orang yang sedang melangkah; performa bentuk luarnya lebih tambun dan tidak terkesan kurus; tangannya sungguh panjang hingga menjamah kaki; serta tatahannya inten-intenan , khususnya pada pecahan uncal kencana , sumping , turido , dan bab pakaian lainnya. Dilihat dari sunggingannya (lukisan/ pemanis yang diwarnai dengan cat) , digunakan sunggingan tlacapan atau sunggingan sorotan , yakni bagian sungging yang berupa segitiga terbalik yang lancip-lcncip mirip bentuk tumpal pada motif kain batik; dan di bab siten-siten atau lemahan , yakni bab di antara kaki depan dan kaki belakang , biasanya diberi warna merah.

Untuk mengenali wayang gaya Yogyakarta , diputuskan dari jenis mata wayang. Bentuk hidung wayang , ekspresi wayang , bentuk mahkota , jenis pemakaian kain (dodot) dan posisi kaki , serta atribut yang lain ialah beberapa atribut yang perlu diamati untuk mengenal wayang Yogya.

kesenian tradisional

2. Wayang Wong

Sesuai dengan namanya , kesenian ini menggunakan wong (orang) selaku pemainnya. Wayang wong berlainan dengan wayang kulit yang menggunakan wayang dari kulit selaku alat peraganya. Wayang  wong yakni suatu seni drama yang memadukan antara seni pembicaraan dan seni tembang. Wayang wong pertama kali diciptakan oleh K.B.A.A. Mangkunegara I yang berkuasa dari tahun 1757 hingga tahun 1795. Pemain-pemain wayang wong yakni para abdi dalem keraton sendiri. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V , pada tahun 1881 , pagelaran wayang wong kian hidup dan dianggap selaku hiburan. Selanjutnya wayang wong bermetamorfosis wayang wong gaya Surakarta dan wayang wong gaya Yogyakarta.

Wayang wong gaya Yogyakarta pertama kali timbul pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwo no VII yang bertakhta dari tahun 1878 hingga tahun 1921. Dahulu kala , wayang wong cuma dipentaskan di lingkungan keraton , yakni di Baluwerti. Para pemainnya yakni pangeran dan keluarga keraton sen- diri. Kesenian ini ialah ajang ekspresi kehalusan budi , keahlian tari , dan bela diri. Semua pemainnya laki-laki. Bahkan , tokoh perempuan pun dimainkan oleh laki-laki.

Perbedaan antara wayang wong gaya Surakarta dan Yogyakarta terletak pada penggunaan kethok dan kecrek serta dalang untuk suluk (nyanyian atau tembang dalang yang dilaksanakan ketika akan mengawali adegan di pertunjukan wayang) dan menceritakan adegan yang silih berganti untuk gaya Surakarta. Adapun gaya Yogyakarta cuma menggunakan keprak (bunyi-bunyian pengiring gerakan) serta pembaca kandha yang bukan ialah dalang. Pada gaya Surakarta , cengkok atau lagu percakapan nampak lembut merayu ,  sedangkan gaya Yogyakarta terlihat datar dan melankolik. Dalam gaya Surakarta , tarian terlihat luwes sedangkan dalam gaya Yogyakarta tarian terlihat lebih gagah , trengginas (lincah) , dan memikat.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V (1822-1855) dipergelarkan tidak kurang lima kisah , yakni Pragolomurti , Petruk Dadi Ratu , Rabinipun Angkawijaya , Joyosemadi , dan Pregiwo-Pregiwati. Pada periode pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921) cuma dua kali pementasan dengan lakon Sri Suwela dan Pregiwo-Pregiwati.

Wayang wong meraih popularitasnya pada dikala Sri Sultan HB VIII berkuasa. Pada masa itu digiatkan pembaruan dan penyempurnaan besar-besaran pada tata pakaian , teknik , ragam gerak tari , dan kelengkapan pentas. Proyek ini melibatkan empu tari KRT Joyodipuro , KRT Wiroguno , GPH Tejokusumo , KRT Wironegoro , BPH Suryodiningrat , dan KRT Purboningrat. Selama periode 1921- 1939 ini tidak kurang 20 lakon wayang wong dipentaskan.

3. Ketoprak

Surakarta tahun 1898. Wabah pes merajalela dan meminta  banyak  korban jiwa. Banyak  orang  yang dirawat dibarak-barak darurat. Untuk menghibur rakyat yang sedang menderita , KRT Wreksadiningrat secepatnya mengerahkan para abdi untuk merawat dan mempersembahkan hiburan kesenian. Mereka menjinjing lesung untuk ditabuh diikuti dengan tarian dan nyanyian.

Beberapa seniman membuatkan ketoprak lesung tersebut dengan memperbesar instrumen musik , mirip siter (alat musik petik yang berdawai , bentuknya seumpama kecapi Sunda) , gender (gamelan Jawa yang dibentuk dari bilah bilah logam berjumlah empat belas dengan penggema dari bambu) , kendang dan genjring (rebana kecil yang dilengkapi dengan belahan logam lingkaran pada bingkainya). Mereka mulai manggung di luar tembok keraton dengan memakaı kostum ala Turki atau Arab dan mengambil kisah rakyat Jawa. Dialognya dinyanyikan sambil menari.

Ketoprak lesung dari Solo untuk pertama kalinya dipentaskan di Yogyakarta pada tahun 1900 , yakni selaku hiburan dalam rangka menyemarakkan perkawinan agung KGPAA Paku Alam VII dengan RA Puwoso , putri Sunan Pakubuwono X. Sejak dikala itu ketoprak meningkat di Yogyakarta.

kesenian ketoprak dan banyolan mataram yogyakarta

4. Dagelan Mataram

Dagelan Mataram yakni pertunjukan humor atau lawak yang dialognya menggunakan bahasa Jawa. Kesenian ini meningkat di wilayah Yogyakarta. Jenis lawakan ini terkenal di Yogyakarta sekitar tahun 1950-an.

Cerita yang dipentaskan dalam banyolan Mataram biasanya kisah sederhana dan bersahabat dengan kehidupan penduduk desa. Misalnya , pertentangan rumah tangga yang kemudian sanggup terselesaikan secara adil. Intrik-intrik dalam pertentangan itulah yang dibumbui dengan banyolan segar. Makna dibalik banyolan sederhana itulah yang sungguh berharga bagi masyarakat. Melalui banyolan , kritik atas sesuatu yang melenceng sanggup diungkapkan tanpa menyinggung perasaan seseorang.

Di tahun 70-an dipahami pemain banyolan Mataram yang cukup terkenal , yakni Basıyo. Beberapa kaset dagelannya beredar di penduduk , mirip Besanan , Dadung Kepuntir , Degan Wasiat , Gatutkaca Gandrung , Kapusan , Maling Kontrang-Kantring , mBecak , mBlantik Kecelik , Midang , Ngedan , Pangkur Jenggleng , dan Gandrung. Bersama sang istri , Darsono , dan Arjo , Basiyo mengemas banyolan Mataram menjadi segar dan kocak.

Di era 1990-an , banyolan Mataram mulai menghilang dari masyarakat. Kesenian jenaka ini tergeser oleh jenis kesenian lain yang lebih gres semisal campursari dan dangdutan.

5. Wayang Beber

Pertunjukan wayang beber dilaksanakan dengan pembacaan kisah atau gambar yang melukiskan insiden atau adegan yang terlukis pada kertas. Pada dikala ini , pertunjukan wayang beber sanggup dibilang sudah punah alasannya yakni lukisan mengenai wayang tersebut tidak dibentuk lagi.

Wayang beber tergolong wayang yang paling bau tanah usianya.  Ia berasal dari masa kiamat Hindu di Jawa. Pada awalnya , wayang beber berkisah tentang kisah Mahabharata kemudian beralih ke kisah Panji dari Kerajaan Jenggala pada masa XI dan meraih jayanya pada zaman Majapahit sekitar masa XIV-XV.

Ketenaran wayang ini memudar sejak zaman Mataram. Salah satu wayang beber yang tersisa didapatkan di Desa Gelaran , Bejiharjo , Karangmojo , Gunung Kidul , yang terletak 47 km sebelah tenggara kota Yogyakarta. Wayang beber tersebut dinamai wayang beber Kyai Remeng , milik Ki Sapar Kromosentono yang ialah andal waris ketujuh.

Menurut kisah rakyat di sana , wayang beber tersebut dibentuk dalam rangka perayaan tujuh bulan dalam kandungan Sultan Hadiwijaya (1546-1586) yang terkenal dengan istilah Jaka Tingkir. Di Jawa dinamakan mitoni. Setelah Jaka Tingkir dinobatkan selaku raja Pajang , Kyai Remeng dijadikan pusaka kerajaan dan kemudian diwariskan ke Mas Ngabehi Saloring Pasar yang bergelar Panembahan Senopati , putra angkatnya. Di kemudian hari Kyai Remeng menjadi pusaka Keraton Mataram.

Hingga dikala ini , wayang beber Kyai Remeng dianggap selaku benda pusaka oleh keluarga Ki Sapar Kromosentono. Setiap malam Jumat , benda keramat ini diselamati dengan sesaji.

kesenin wayang beber dan tayup gaya yogyakarta

6. Tayub

Tayub berasal dari kata mataya yang memiliki arti tarian dan guyub yang memiliki arti rukun. Jika digabungkan memiliki arti tarian kerukunan atau tarian persahabatan. Di Yogyakarta juga ada semacam tayub yang disebut beksan pangeranan. Seorang penari sanggup ditemani seorang teledek atau beberapa teledek secara bersamaan. Saat gamelan berhenti , gres minuman disajikan. DahuIukala , tarian tayub cuma dilaksanakan oleh saudara darah biru yang memang sudah cakap menari.

Disebutkan dalam Serat Centhini , pada permulaan masa XIX putra Sunan Giri III mengerjakan pengembaraan ke seantero Jawa. Waktu tiba di Desa Kepleng , ia menyaksikan penduduk gemar bermain tabuh-tabuhan dan dilanjutkan dengan tayuban dengan perempuan berjulukan Gendra. Dalam membawakan tarian , Gendra begitu menawan penonton sehingga merangsang mereka untuk menari bersamanya. Akibat mereka saling berebut untuk sanggup menari bareng Gendra , tidak jarang terjadi ketegangan , percekcokan , dan bahkan perkelahian. Gendra memang memiliki arti si pembuat onar.

Tayub yang berhubungan dengan ritus kesuburan masih ada di wilayah Semin , Gunung Kidul. Tayub diadakan dalam rangka perayaan munculnya Dewi Sri , dewi kesuburan. Awalnya teledek menari dengan diiringi gending Sri Boyong , biar Dewi Sri hadir di antara mereka untuk melindungi petani dari segala hama tanaman. Kemudian dilanjutkan dengan gending Sri Katon untuk menghormati Dewi Sri yang sudah hadir di antara mereka. Setelah gending Rujak Jeruk , maka para penonton bersuka cita menari bareng teledek.

Dalam perjalanan waktu , tayub sudah kian jauh dari rancangan luhur tentang kesuburan. Tayub sudah memudar dan dibelokkan pada wujud yang mengesampingkan norma susila. Kehidupan penari tayub , yang disebut ronggeng , lekat dengan kehidupan mesum dan tidak senonoh.

:
Macam-Macam Kesenian Jawa dengan Pengaruh Islam
Macam-Macam Kesenian Tradisional Rakyat Jawa Tengah


Sumber : Selayang Pandang Daerah spesial Yogyakarta : Kelik Supriyanto
Advertisement
Advertisement


EmoticonEmoticon